Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belakangan ini, banyak perusahaan rintisan atau startup di Tanah Air yang telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan. Setidaknya ada enam startup yang melakukan PHK yakni Tanihub, Zenius, LinkAja, Pahamify, JD.ID, dan MPL.
PHK yang terjadi pada startup ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Beberapa startup internasional juga melakukan PHK besar-besaran tahun ini seperti Netflix dan Robinhood. Sejumlah perusahaan teknologi rintisan (startup) Indonesia juga tengah menghadapi permasalahan yang dikenal sebagai fenomena bubble burst.
Mengutip laman Investopedia, fenomena ini merupakan kondisi bisnis yang cepat mengalami kenaikan namun cepat juga mengalami penurunan. Adanya fenomena pecahnya gelembung tersebut dikarenakan saat ini perusahaan startup sulit untuk mendapatkan pendanaan serta tidak mempunyai aset.
Baca Juga: Tren PHK Startup Global Berlanjut, Kini Giliran Sektor Kripto dan Properti
Padahal, untuk meraih pengguna kebanyakan dari startup harus melakukan strategi bakar uang seperti promosi melalui televisi, baliho, digital, program cashback, hingga diskon besar-besaran. Ditambah lagi, The Fed yang melakukan kebijakan menaikkan suku bunga sehingga investor luar negeri cenderung menarik dana mereka dan memilih untuk menyimpan uang mereka daripada berinvestasi ke industri teknologi di Indonesia.
Hal ini berimbas pada semakin selektifnya investor dalam memberikan pendanaan kepada perusahaan rintisan (startup). Menurut Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Fintech Indonesia (AFTEC) Rudiantara, saat ini banyak modal ventura yang mulai beralih fokus dimana mulai melihat kinerja keuangan perusahaan dibanding melihat traction dari para startup ini.
Traction ialah melihat seperti jumlah pengguna atau pengunduh dan loyalitas pengguna terhadap jasa atau produk startup tersebut. Dimana, terkadang untuk mencapai traction yang bagus, para startup ini melakukan berbagai cara salah satunya adalah dengan melakukan strategi bakar uang.
Dana yang disuntik besar bahkan hingga triliunan rupiah, namun hasilnya nihil, venture capital (VC) pun enggan menyuntikkan dananya lagi. Alhasil, tsunami besar pemutusan hubungan kerja (PHK) di startup pun mulai menghantui.
Baca Juga: Ada Tren PHK, BPJS Ketenagakerjaan Siap Berikan Klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Gaya bisnis startup yang mengedepankan pertumbuhan dengan arus kas dan/atau profit negatif tidak akan bisa bertahan. Pada akhirnya, bisnis yang sehat harus punya arus kas dan profit yang positif.
Kalau menurut CEO Grant Thornton Indonesia, Johanna Gani dalam rilis mengatakan, fenomena yang dihadapi startup saat ini bukanlah semata permasalahan tidak adanya pendanaan, bahkan kondisi ekonomi masyarakat pun terbilang cukup baik dan kondisi pasar semakin pulih. "Kendala justru terletak dari penggunaan dana operasional masing-masing startup," ujar dia.
Perusahaan startup disarankan menggunakan protokol finansial internal, sesederhana dimulai dengan evaluasi keuangan dan memperbarui informasi kondisi finansial secara rutin. "Dengan menjaga arus informasi keuangan, potensi kesalahan perencanaan dapat diantisipasi jauh hari sebelum keadaan keuangan semakin memburuk," saran Johanna.
Selain strategi manajemen keuangan yang baik tentu juga diperlukan strategi keseluruhan yang matang agar startup tidak hanya dapat bertahan namun juga tumbuh. Johanna mengatakan, perlu juga dipertimbangkan inovasi dari sisi produk dan model bisnis serta di era post-pandemic ini, perhatikan juga situasi dan kebiasaan target market mungkin berubah. "Mungkin saja ada strategi bisnis yang perlu disesuaikan untuk mengejar pertumbuhan optimal," ujar dia.
Baca Juga: Gaji Karyawan & Biaya Operasi Bebani Fintech
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News