kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45908,54   -10,97   -1.19%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pelaku CPO tidak puas dengan revisi beleid bea keluar


Selasa, 19 Juli 2011 / 21:26 WIB
Pelaku CPO tidak puas dengan revisi beleid bea keluar
ILUSTRASI. Pekerja beraktivitas di gedung kantor Bursa Efek Indonesia, kawasan SCBD, Jakarta, Senin (5/10/2020).


Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina |

JAKARTA. Meski pemerintah akan merampungkan revisi beleid bea keluar (BK) minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO), para pengusaha dan petani CPO tetap menyuarakan keberatannya. Mereka menganggap penurunan tarif tertinggi BK dan peningkatan batas bawah harga CPO tetap merugikan mereka.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Asmar Arsyad mengatakan, revisi itu tidak menghasilkan perubahan yang signifikan, misalnya saja dalam penentuan batas bawah harga yang terkena BK 0%. Asmar bilang, peningkatan batas bawah dari US$ 700 per ton menjadi US$ 750 per ton tidak ada bedanya. Pasalnya , harga CPO internasional di bulan-bulan mendatang tidak mungkin serendah itu. Harga CPO di bulan-bulan mendatang bakal di atas US$ 1.000 per ton karena permintaannya terus tinggi. "Percuma, BK tidak mungkin 0%," kata Asmar kepada KONTAN, Selasa (19/7).

Kenyataan itu membuat para petani kelapa sawit tetap rugi. Kata Asmar, pengenaan BK ini menurunkan pendapatan petani sebesar US$ 0,14 per ton tandan buah segar (TBS). Di sisi lain, petani tidak mendapatkan insentif baik langsung maupun tidak langsung dari kebijakan BK ini. Hal ini terbukti dari masih buruknya infrastruktur di perkebunan, minimnya penelitian dan pengembangan kelapa sawit, dan juga pemerintah kurang gencar mempromosikan CPO nasional di luar negeri.

Usia perkebunan sawit para petani juga banyak yang sudah kelewat tua. Asmar bilang, saat ini ada sekitar 1 juta hektare (ha) lahan yang pohon sawitnya harus diremajakan. Untuk melakukan itu, para petani membutuhkan dana sekitar Rp 4 triliun. "Hingga kini belum ada bantuan dari pemerintah, ke mana dana hasil BK itu?," tanya Asmar. Hingga saat ini, dana BK yang terkumpul diprediksi mencapai Rp 50 triliun.

Asmar bilang, pemerintah seharusnya mencontoh Malaysia. Negeri Jiran itu memang mengutip pajak ekspor sebesar RM 3,25 per ton. Namun, Malaysia mengembalikan itu dalam bentuk bantuan promosi, penelitian dan dana cadangan bagi para eksportir. Walhasil, para eksportir di sana merasakan manfaat dari pengenaan pajak ekspor itu.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Fadhil Hasan juga mengungkapkan keberatan. Menurutnya, jika pengenaan BK itu masih ditetapkan progresif maka akan menurunkan daya saing CPO nasional di pasar minyak nabati internasional.

Gapki sendiri mengusulkan tiga opsi BK yang bisa diambil pemerintah. Pertama, opsi BK ditetapkan flat antara 3%-5% untuk tingkat harga CPO US$ 750-US$ 1.250 per ton. Apabila harga di atas US$ 1.250 per ton maka dikenakan BK 5% dari selisih harga (US$ 1.250-US$ 750 per ton).

Kedua, tarif BK tetap progresif tapi tarif awal BK 5% untuk harga US$ 750-US$ 1.250 per ton. Selain itu, setiap kenaikan harga US$ 50 per ton dikenakan tambahan tarif sebesar 1,5% dari selisih harga tersebut yaitu US$ 800 dikurangi US$ 750 per ton.

Ketiga, Gapki menawarkan opsi BK incremental. Maksudnya. Pada tingkat harga US$ 750-US$ 800 per ton dikenakan BK 1,5%. Lalu, setiap kenaikan US$ 50 per ton dikenakan tambahan BK sebesar 1,5%. Batas atas untuk opsi ini ditawarkan maksimal 15% pada tingkat harga lebih besar dari US$ 1.250 per ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×