kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pelaku usaha menyoroti ketentuan tarif royalti musik


Selasa, 13 April 2021 / 06:15 WIB
Pelaku usaha menyoroti ketentuan tarif royalti musik


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memperkuat perlindungan hak ekonomi dari Pencipta/Pemegang hak cipta dan pemilik produk hak terkait atas lagu dan/atau musik. Terbaru, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 terkait Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik pada 30 Maret 2021 lalu. 

Kabag Humas Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Irma Mariana mengatakan, PP Nomor 56 Tahun 2021 bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi pengelolaan hak cipta lagu dan/atau musik serta mempertegas aturan-aturan yang memang sudah ada sebelumnya. “PP 56 yang keluar itukan hanyalah penguatan dari aturan sebelumnya,” kata Irma kepada Kontan.co.id, Senin (12/4).

PP Nomor 56 Tahun 2021 memuat banyak hal, termasuk di antaranya kewajiban pembayaran royalti bagi setiap orang yang menggunakan lagu atau musik secara komersial dan ataupun pada layanan publik.

Ada 14 sektor layanan publik yang menjadi sasaran pemungutan royalti, yaitu (a) Seminar dan konferensi komersial; (b) Restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek; (c) Konser musik; (d) Pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut; (e) Pameran dan bazar; (f) Bioskop; (g) Nada tunggu telepon; (h) Bank dan kantor; (i) Pertokoan; (j) Pusat rekreasi; (k) Lembaga penyiaran televisi; (l) Lembaga penyiaran radio; (m) Hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel; dan (n) Usaha karaoke. 

Baca Juga: Terkait aturan royalti lagu dan musik, ini kata pengusaha hiburan

Tarif yang dikenakan untuk masing-masing layanan publik bervariasi. Harga tarifnya masih mengacu kepada ketentuan tarif yang lama.

Untuk perhitungan lembaga penyiaran radio misalnya, ditetapkan sebesar 1,15% dari pendapatan iklan atau iuran berlangganan tahun sebelumnya, sedangkan untuk radio non komersial dan RRI dikenakan tarif royalti sebesar Rp 2 juta per tahun.

Sementara itu, tarif royalti restoran dan kafe ditentukan berdasarkan tiap kursi per tahun dengan besaran harga Rp. 60.000 untuk royalti pencipta maupun royalti hak terkait. Lain halnya dengan layanan publik komersial lainnya seperti misalnya bioskop. Mereka dikenakan tarif royalti sebesar Rp 3,6 juta per layar per tahun. 

“Mengingat tahun ini belum adanya ketentuan mengenai tarif royalti yang baru, maka besaran harga tarif royalti masih mengacu pada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kepmenkumham) Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016,” terang Humas Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam keterangan tertulis.

Baca Juga: Ada aturan royalti musik dalam PP 56/2021, ini tanggapan MRT Jakarta

Nantinya, royalti yang ditarik dari pengguna komersial ini akan dibayarkan kepada pencipta atau pemegang hak cipta lagu dan/atau musik melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). 

Meski bukan merupakan ketentuan baru, ketentuan seputar pembayaran royalti memicu reaksi yang beragam di kalangan pelaku usaha. Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafruddin menilai bahwa tarif royalti sebesar Rp 3,6 juta per layar per tahun untuk bioskop terlampau besar. “Kalau menurut saya sih kalau Rp 600.000 satu layar menurut saya ideal,” ujar Djonny kepada Kontan.co.id, Senin (12/4).

Selain menyoroti soal besaran tarif, dia juga menilai bahwa pemungutan tarif royalti terhadap pelaku usaha bioskop sebaiknya dilakukan ketika kondisi bisnis membaik selepas pandemi Covid-19 usai kelak. Djonny bilang, saat ini pelaku usaha bioskop tengah dihadapkan pada situasi yang sulit.

Hal ini tercermin pada omzet harian para pengusaha bisnis bioskop yang menurun drastis. “Sehari itu bioskop biasanya dapat (omzet) Rp 40 juta-Rp  50 juta, sepahit-pahitnya itu Rp 25 juta di tangan, sekarang pandemi ini mencapai Rp 1 juta-Rp 2 juta aja susah,” ujar Djonny.

Baca Juga: Soal aturan royalti lagu dan musik, begini tanggapan PT KAI

Senada, Sekretaris umum Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), M Rafiq mengatakan bahwa tarif royalti sebesar 1,15% agak memberatkan bagi anggota PRSSNI berskala usaha UMKM yang berpenghasilan di bawah Rp 1 miliar per tahun. Kelompok ini, kata Rafiq jumlahnya mencapai 90% dari total anggota PRSSNI yang berjumlah 600 anggota.

Sebenarnya, Pasal 11 PP 56 Tahun 2021 telah mengatur bahwa perseorangan atau badan hukum berskala usaha mikro, kecil, dan menengah diberikan keringanan tarif royalti dalam melakukan penggunaan lagu/musik secara komersial. Pasal 11 Ayat 2 beleid tersebut menyebut, keringanan tarif bagi usaha mikro tersebut ditetapkan oleh menteri. “Nah sekarang kita nunggu, mana draft peraturan menterinya, ayo dibicarakan ke kita,” kata Rafiq kepada Kontan.co.id (12/4).

Selain itu, Rafiq juga menilai bahwa pembayaran tarif royalti sebaiknya dilakukan dengan menggunakan sistem sekali bayar per tahun dengan besaran jumlah yang tetap (lump sum). Rafiq beralasan, pembayaran tarif royalti musik dengan skema persentase cukup memberatkan pelaku usaha radio, sebab biaya audit dari pendapatan yang didapat ditanggung oleh para pelaku usaha radio.

“Nah sekarang sih kita akan mengusulkan kepada pemerintah kepada LMKN, boleh enggak nih radio komersial ini lump sum aja, supaya radio tidak terbebani biaya audit,”  tutur Rafiq.

Baca Juga: Ini poin-poin dalam PP 56/2021 tentang pengelolaan royalti hak cipta lagu dan musik

Sementara itu,  Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Eddy Sutanto mengaku tidak mempermasalahkan besaran tarif yang dibebankan kepada pengusaha kafe dan restoran.

Hanya saja, ia menilai bahwa pemungutan tarif royalti tersebut sebaiknya dilakukan ketika perekonomian dan bisnis kafe dan restoran sudah pulih sepenuhnya. Terlebih, saat ini pengusaha kafe dan restoran tengah dihadapkan dengan ketentuan kapasitas maksimum pengunjung yang dibatasi hanya 50%.

Selain itu, ia juga berharap agar pendistribusian uang royalti bisa dilakukan secara adil dan transparan. “Sepanjang uang royalti sampai ke seniman yang berhak dengan fair (kami) nggak keberatan,” kata Eddy kepada Kontan (12/4).

Baca Juga: Bos Mahaka Radio Integra (MARI) angkat bicara soal PP 56/2021 soal royalti lagu

Sementara itu, Komisioner LMKN, Marulam Juniasi Hutauruk mengatakan, bahwa LMKN memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan hukum yang berlaku. Semisal ada perseorangan/badan hukum layanan publik komersial yang merasa keberatan dengan besaran tarif royalti, maka perseorangan/badan hukum tersebut  sebaiknya mengambil langkah prosedur yang sudah disediakan oleh hukum.

“Prosedurnya kan bisa gugat keputusan menteri itu bahwa itu tidak fair dan segala macam. Atau ketika kita membahas tentang perubahan tarif, mereka juga boleh kok ikut bicara, kan begitu, semua ada prosedurnya,” tutur Marulam kepada Kontan.co.id (12/4).

Baca Juga: Industri Radio Dibayangi Ketentuan Bayar Royalti

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×