Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pelaku usaha hulu migas masih wait and see dalam pelaksanaan bisnis penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture Storage/CCS) di Indonesia. Pasalnya, potensi bisnis ini belum tentu semanis yang digembar-gemborkan pemerintah.
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Migas (Aspermigas), Moshe Rizal menjelaskan saat ini perusahaan hulu migas masih meraba-raba pelaksanaan CCS di Indonesia karena banyak hal teknis yang belum terang, khususnya mengenai risiko dan skema monetisasi.
“Kami masih wait and see CCS ini akan seperti apa. Kalau dilihat kan penangkapan dan penyimpanan karbon ini mengeluarkan biaya yang sangat besar,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (4/2).
Baca Juga: Pelaku Usaha Hulu Migas Sambut CCS Di Indonesia, Berikut Potensi Bisnisnya
Misalnya saja proyek CCS yang digarap PT Pertamina bersama ExxonMobil di Laut Jawa dengan kapasitas 3 Gigaton CO2 nilai investasinya di atas US$ 2 miliar atau Rp 31,46 triliun (asumsi kurs Rp 15.731 per USD).
Dengan nilai investasi yang besar ini, pengembalian modal masih dipertanyakan karena beberapa proyek CCS yang sudah berjalan komersial di luar negeri, nyatanya belum berjalan sesuai harapan.
Misalnya saja proyek Gorgon milik Chevron di Australia yang sudah enam tahun berjalan, sampai saat ini hanya bisa mencapai sepertiga kapasitas penyimpanannya. Proyek dengan nilai investasi US$ 3,2 miliar tersebut terkendala teknis di mana terjadi peningkatan lapisan batu pasir di bawah Pulau Barow, sebagai tempat penyimpanan CO2.
“Memang potensi kapasitas penyimpanan Indonesia besar, tetapi kalau melihat proyek CCS di luar sana yang sudah beroperasi dan komersial belum ada satupun yang dapat menyimpan 50% lebih dari targetnya,” kata Moshe.
Baca Juga: Kementerian ESDM dan ENI Kerja Sama Sejumlah Program Dekarbonisasi
Selain risiko dan investasi yang besar, Moshe juga menyoroti skema monetisasinya. Sejatinya bisnis CCS ini bisa mendatangkan pundi-pundi uang dari biaya sewa (storage fee) dan kredit karbon untuk diperdagangkan di bursa karbon.
Hanya saja kedua hal ini belum cukup meyakinkan dapat menghasilkan marjin yang cukup besar untuk dibagi antara Perusahaan dan pemerintah.
“Carbon trading di Indonesia nilainya masih sekitar US$ 4 per-ton. Di luar negeri bisa lebih dari US$ 50 per-ton dan dapat pengurangan pajak emisi sehingga bisa ada marjin tetapi tidak besar,” jelasnya.
Di sisi lain, klien yang akan menyimpan karbonnya, terkhusus dari luar negeri akan berpikir beberapa kali untuk mengandalkan CCS demi menurunkan emisinya. Mereka harus menggelontorkan uang yang sangat besar karena banyak proses yang harus dilewati untuk menyimpan karbon di negara lain.
Tentu pertama-tama ada biaya angkut karbon, transportasi menggunakan kapal atau pipa gas antar negara. Setalah sampai di Indonesia, emisi tersebut akan ditempatkan di penyimpanan sementara. Baru kemudian, karbon tersebut bisa diinjeksikan ke lokasi penyimpanan. Selama penyimpanan tentu ada biaya kontrol dan lainnya.
“Itu semua luar biasa biayanya, siapa klien yang mau bayar itu semua. Sedangkan saat ini ada beberapa opsi offset carbon yang tidak semahal CCS,” kata Moshe.
Baca Juga: Pemerintah akan Segera Merilis Perpres Tentang Carbon Capture Storage Bulan Ini
Menurut Aspermigas, kebijakan CCS di Indonesia harus digodok lebih dalam, salah satunya dari sisi risiko demi memitigasi hal yang tidak diinginkan. Seperti antisipasi kebocoran hingga nasib karbon yang sudah diinjeksikan setelah masa kontrak penyimpanan habis.
“CO2 ini kan sampah, jadi orang mau simpan limbah di tempat kita. Nah sampah ini tidak bisa selamanya di-recycle. Meski bisa diutilisasi untuk EOR migas, pemakaiannya ini kecil sekali, kurang dari 10% bisa dimanfaatkan. Banyak sekali hal yang masih belum clear dan harus diperjelas,” tandasnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA), Marjolin Wajong menilai masih banyak detail yang harus dibicarakan dalam pelaksanaan bisnis CCS di Tanah Air.
Baca Juga: Industri Hulu Migas Butuh Keberpihakan Pemimpin Pada Potensi Gas yang Melimpah
“Ini kan Peraturan Presidennya baru keluar biasanya akan kita bedah dan dilihat. Mana saja yang membutuhkan detail pelaksanaan di peraturan berikutnya,” ujarnya ditemui di Jakarta, Kamis (1/2).
Namun perihal risiko dan tantangan pelaksanaan CCS, dirinya enggan memberikan komentar lebih jauh. Menurutnya diperlukan kajian lebih lanjut untuk mengetahui hal tersebut.
“Ini baru jalan, jangan melihat kendala dahulu. Lihat peluangnya dan peraturannya kita jalani bersama,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News