kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pembangunan smelter dinilai lambat, Pengamat: Pemerintah tak boleh lemah


Rabu, 03 Oktober 2018 / 16:34 WIB
Pembangunan smelter dinilai lambat, Pengamat: Pemerintah tak boleh lemah
ILUSTRASI. Pabrik Feronikel Antam


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Progres pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian hasil penambangan (smelter) masih bergerak lambat. Hingga memasuki penghujung tahun 2018 ini, tak banyak perusahaan mineral penerima rekomendasi ekspor yang telah mencapai kemajuan fisik 100%.

Padahal, dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) Pasal 103 disebutkan, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Sementara pada Pasal 170, pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya lima tahun sejak diundangkan.

Merujuk pada data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per 30 September, di kelompok komoditas konsentrat dan lumpur anoda, dari delapan perusahaan pemegang rekomendasi ekspor (RE), tercatat baru dua perusahaan yang capaian pembangunan kumulatif smelternya sudah 100%, yaitu PT Primier Bumidaya dan PT Sumber Baja Prima.

Di sektor nikel, dari 21 perusahaan pemegang RE, baru enam perusahaan yang capaian pembangunan kumulatifnya sudah 100%. Sedangkan di kelompok bauksit, dari tujuh pemegang RE, baru dua diantaranya yang telah menyelesaikan fasilitas pemurnian, yakni PT Aneka Tambang Tbk (Antam) dan PT Cita Mineral Investindo.

Menurut pengamat hukum sumber daya alam dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi, setidaknya ada tiga faktor yang membuat pembangunan smelter berjalan lambat. Pertama, karena biaya investasi yang besar. Sehingga, kata Redi, perusahaan cenderung lebih suka menambang dengan pola dengan mengeruk, mengangkit, dan menjual.

Kedua, pemerintah dinilai masih lemah dalam menegakkan aturan di UU Minerba. Apalagi, lanjut Redi, pemerintah malah acap kali memberikan relaksasi untuk tetap memberikan ijin ekspor. Sedangkan yang ketiga, soal kepastian bagi investasi pembangunan smelter, di saat relaksasi masih berlaku untuk perusahaan yang belum rampung membangun smelter.

“Pemerintah berkali-kali menyimpanginya dengan memberikan relaksasi bahkan sampai dengan tahun 2022. Padahal di UU Minerba sudah tidak boleh ada ekspor ore/konsentrat yang belum diolah dan dimurnikan malalui pembangunan smelter,” ujar Redi saat dihubungi KONTAN, Rabu (3/10).

Namun, menurut Direktur Jenderal Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono, pembangunan smelter tidak bisa dilihat hanya dari progres fisiknya saja. Bambang bilang, ukurang verifikasi atau penilaiannya ialah ketika perusahaan yang bersangkutan bisa mencapai kemajuan minimal 90% sesuai rencana enam bulan.

Bambang menyebut, wajar saja jika pada tahun pertama dan kedua belum terlihat progres fisik karena masih dalam masa persiapan, seperti pemenuhan persyaratan administratif, studi dan juga penentuan teknologi.

”Ada studi, manajemen project. Jadi seperti kurva S, tahun pertama dan kedua datar dulu, tiga tahun berikutnya baru terjal. Walau (progresnya) 0,sekian persen, pokoknya setiap enam bulan harus 90% sesuai rencana,” terang Bambang.

Ia juga membantah jika pihaknya lepas tangan terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut. Bambang mengungkapkan, pihaknya telah mengeluarkan sanksi dan teguran terhadap perusahaan yang melanggar. “Kalau tak memenuhi, nggak sesuai, ya kita cabut rekomendasi (ekspornya),” tambah Bambang.

Pemberian Sanksi

Sebelumnya, Kementerian ESDM telah memberikan sanksi dan peringatan terakhir kepada lima perusahaan. Ada empat perusahaan yang dikenakan penghentian sementara rekomendasi ekspor. Terdiri dari tiga perusahaan tambang nikel dan satu perusahaan bauksit.

Tiga perusahaan nikel itu adalah PT Surya Saga Utama, PT Modern Cahaya Makmur, dan PT Integra Mining Nusantara, lalu untuk satu perusahaan bauksit yang dikenai penghentian sementara rekomendasi ekspor adalah PT Lobindo Nusa Persada. Sedangkan untuk satu perusahaan nikel yang mendapatkan peringatan terakhir adalah PT Toshida Indonesia.

Menurut Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Susigit, sejumlah perusahaan tersebut dikenai sanksi dan peringatan terakhir karena tidak memberikan laporan. Juga karena realisasi yang tidak mencapai target yang telah dipatok dalam periode enam bulan.

“Mereka yang dihentikan itu kan karena laporannya nggak ada, juga realisasinya tidak tercapai. Sekarang ini ya mereka harus menyampaikan laporan dulu,” ujar Bambang.

Ia menyebut, dari kelima perusahaan yang disebutkan di atas, baru PT Toshida Indonesia yang telah menyerahkan laporan. Namun, Bambang bilang, laporan yang masuk itu masih harus diverifikasi kembali.

“Baru PT Toshida (yang sudah menyerahkan laporan), yang lain belum ada progres laporan. Toshida baru masuk laporannya, jadi kita masih cek dulu kesesuaian angkanya” kata Bambang.

Ia menuturkan, tak ada jangka waktu untuk mengubah status tersebut. Sehingga, semuanya bergantung pada komitmen masing-masing perusahaan untuk memenuhi aturan dalam pembangunan smelter dan pelaporan progresnya.

“Nggak ada (batas waktu), gimana perusahan. Yang jelas sekarang mereka berhenti ekspornya, karena kita cabut. Bangun (smelter)-nya harus tetap. Kalau nggak, ya nggak akan keluar nanti (ijin ekspornya)” jelasnya.

Dalam hal ini, menurut Ahmad Redi, komitmen dalam membangun smelter adalah cerminan atas hilirisasi mineral yang sudah seharusnya direalisasikan. Karenanya, kata Redi, Kementerian ESDM memang harus bertindak tegas, termasuk dengan secara serius memberikan sanksi bagi perusahaan yang melanggar.

“Memang itu (pemberian sanksi) yang harus dilakukan, bila pemerintah punya komitmen,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×