Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
Namun, menurut Direktur Jenderal Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono, pembangunan smelter tidak bisa dilihat hanya dari progres fisiknya saja. Bambang bilang, ukurang verifikasi atau penilaiannya ialah ketika perusahaan yang bersangkutan bisa mencapai kemajuan minimal 90% sesuai rencana enam bulan.
Bambang menyebut, wajar saja jika pada tahun pertama dan kedua belum terlihat progres fisik karena masih dalam masa persiapan, seperti pemenuhan persyaratan administratif, studi dan juga penentuan teknologi.
”Ada studi, manajemen project. Jadi seperti kurva S, tahun pertama dan kedua datar dulu, tiga tahun berikutnya baru terjal. Walau (progresnya) 0,sekian persen, pokoknya setiap enam bulan harus 90% sesuai rencana,” terang Bambang.
Ia juga membantah jika pihaknya lepas tangan terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut. Bambang mengungkapkan, pihaknya telah mengeluarkan sanksi dan teguran terhadap perusahaan yang melanggar. “Kalau tak memenuhi, nggak sesuai, ya kita cabut rekomendasi (ekspornya),” tambah Bambang.
Pemberian Sanksi
Sebelumnya, Kementerian ESDM telah memberikan sanksi dan peringatan terakhir kepada lima perusahaan. Ada empat perusahaan yang dikenakan penghentian sementara rekomendasi ekspor. Terdiri dari tiga perusahaan tambang nikel dan satu perusahaan bauksit.
Tiga perusahaan nikel itu adalah PT Surya Saga Utama, PT Modern Cahaya Makmur, dan PT Integra Mining Nusantara, lalu untuk satu perusahaan bauksit yang dikenai penghentian sementara rekomendasi ekspor adalah PT Lobindo Nusa Persada. Sedangkan untuk satu perusahaan nikel yang mendapatkan peringatan terakhir adalah PT Toshida Indonesia.
Menurut Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Susigit, sejumlah perusahaan tersebut dikenai sanksi dan peringatan terakhir karena tidak memberikan laporan. Juga karena realisasi yang tidak mencapai target yang telah dipatok dalam periode enam bulan.