Reporter: Fitri Nur Arifenie | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Pengusaha kehutanan mendesak pemerintah segera mendesak Uni Eropa meneken perjanjian kemitraan sukarela (Voluntary Partnership Agreement/VPA) terkait dengan untuk penegakan hukum, tata kelola, dan perdagangan sektor kehutanan (FLEG-T).
Pengusaha itu menilai, Uni Eropa saat terkesan mengulur-ulur penandatanganan, yang menimbulkan ketidakpastian dan merugikan pengusaha produk hasil kehutanan di Indonesia. Akibatnya, banyak pembeli produk kayu dan hasil kayu Indonesia menunda pembeliannya ke Indonesia.
Direktur Operasi PT Albasia Bhumipala Persada, Ratih Widiastuti bilang, pembeli menunggu Uni Eropa teken VPA agar kebijakan SVLK (sistem verifikasi legalitas kayu) berlaku. "Banyak konsumen yang bingung dan mempertanyakan SVLK. Saya berharap pemerintah bisa membantu situasi ini," katanya.
Albasia Bhumipala Persada memproduksi kayu lapis berbahan baku kayu sengon. Industri yang berlokasi di Temanggung, Jawa Tengah ini mengekspor produksinya sekitar 25 kontainer setiap bulan ke Eropa, khususnya Jerman.
Saat ini, perusahaan telah menggenggam sertifikat SVLK sejak tahun 2010. Namun, persetujuan penerapan SVLK tersebut mealui VPA belum juga diteken Uni Eropa.
Negosiasi VPA Indonesia-UE sudah berlangsung sejak tahun 2007. VPA sempat direncanakan diteken November 2012, namun karena sejumlah alasan, UE memilih menunda penandatanganannya. Indonesia sendiri sudah siap dengan VPA, termasuk memberlakukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Jika VPA jadi diteken, produk kehutanan dari Indonesia yang sudah memiliki dokumen V-legal berbasis SVLK bisa diterima secara luas di pasar Eropa. Sistem tersebut sudah memenuhi persyaratan ketentuan importasi kayu (EU Timber Regulation) dan peraturan uji tuntas (due diligence) yang terkait yang akan diberlakukan Maret, 2013.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News