Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembuat undang-undang dinilai perlu memperjelas penafsiran perubahan sejumlah pasal Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) dalam UU Cipta kerja.
Dosen Fakultas Hukum dan Peneliti Pusat Studi Energi UGM Irine Handika mengatakan, apabila dilihat secara sistematis, perubahan pasal 4, 5 , 1, dan 52 UU Migas yang diatur dalam Pasal 40 UU Cipta Kerja menempatkan rezim perizinan berusaha sebagai dasar hukum kegiatan usaha hulu dan hilir migas.
Hal ini menurutnya berpotensi membuka peluang timbulnya multiinterpretasi, mengingat pengusahaan hulu migas di Indonesia sebelumnya menganut rezim pengusahaan hulu migas dari Kontrak Kerja Sama (KKS).
Baca Juga: Kenaikan harga batubara jadi katalis positif, ini rekomendasi saham PTBA
“Undang-Undang Cipta Kerja itu jadi membuat dualisme, membuat multi interpretasi yang sangat luas untuk dasar hukum kegiatan hulu migas, apakah kita mau pakai perizinan berusaha, apakah kita mau pakai kontrak,” papar Irine dalam sesi webinar bertajuk Dampak Undang-Undang Cipta Kerja terhadap Sektor Energi Seri 2, Rabu (16/6).
Sejalan dengan pemaparan Irine, Pasal 5 UU Migas hasil perubahan UU Cipta Kerja ayat (1) memang menyebutkan bahwa Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Menurut Pasal 5 ayat (2), kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang dimaksud adalah kegiatan usaha hulu dan hilir.