Reporter: Noverius Laoli | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel merevisi kebijakan ekspor timah lantaran dianggap membahayakan. Dalam catatan pemerintah. akibat pertambangan timah, 65% hutan telah rusak.
Bahkan di Pulau Bangka kerusakan terumbu karang sudah lebih dari 70%. Selain itu, 15 sungai kini terkontaminasi limbah penambangan timah dan akses ke air bersih kian menjadi masalah bagi lebih dari setengah populasi di Pulau Bangka.
Rachmat mengatakan, pemerintah ingin menjaga lingkungan hidup dan sekaligus menjaga Sumber Daya Alam (SDA) agar tetap berkelanjutan. Untuk itu, Kemdag merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 44/M-Dag/Per/7/2014 tentang Ketentuan Ekspor Timah dan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 33/M-DAG/PER/5/2015. "Permendag ini mulai diberlakukan pada 1 Agustus 2015," ujar Rachmat, Selasa (19/5).
Permendag ini direvisi untuk menjaga keberlanjutan sumber daya alam (sustainable resources) dan kelestarian lingkungan hidup, serta mendukung terciptanya good mining practices melalui proses Clear and Clean (CnC). Revisi ini sekaligus mendorong peningkatan nilai tambah ekspor (added value) dan menjamin ketertelusuran (traceability) sumber bahan baku timah.
Isu timah merupakan isu kolektif beberapa instansi. Kementerian Perdagangan mengambil inisiatif untuk menyelamatkan segala dampak buruk akibat penjarahan tambang timah dengan memperketat skema regulasi ekspor timah melalui bursa.
Permendag 33/2015 mengatur sejumlah perubahan yang menyangkut jenis, perdagangan di bursa, dan tata niaga. Tentang jenis timah yang dapat diekspor yang sebelumnya dikelompokkan menjadi empat kelompok kini berubah menjadi tiga kelompok. Sebelumnya, timah yang dapat diekspor adalah Timah Murni Batangan, Timah Murni Bukan Batangan, Timah Solder dan Timah Paduan Bukan Solder. Permendag baru mengubahnya menjadi Timah Murni Batangan, Timah Solder, dan Barang Lainnya dari Timah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News