Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan membuat skenario untuk meningkatkan kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM), yaitu melalui produk BBM rendah sulfur dan emisi per 1 September 2024.
Selain itu, pemerintah pun berencana bakal membatasi BBM untuk mobil tertentu. Alhasil, kenaikan harga BBM secara bertahap pun mencuat. Di mana, aturan terkait kenaikan BBM bakal terbit sebelum Oktober 2024.
Dus, BBM rendah sulfur ini dikhawatirkan akan berdampak ke ekonomi masyarakat lantaran harganya yang lebih mahal.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan memang akan ada produk BBM baru yang rendah sulfur dan emisi untuk mengurangi gas buang di sektor transportasi.
Baca Juga: Pertamina: Harga BBM Pertamax Tak Naik
Sementara itu, Pjs Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari bilang, pihaknya masih menunggu regulasi dari Pemerintah untuk BBM rendah sulfur ini.
"Prinsipnya Pertamina Patra Niaga siap menjalankan sesuai arahan dan kebijakan pemerintah," kata Heppy kepada Kontan, Selasa (6/8).
Heppy menambahkan, saat ini untuk mendukung upaya subsidi tepat, pendataan pengguna BBM melalui QR code masih teris di lanjutkan dan sudah di perluas ke seluruh Jamali dan beberapa wilayah luar Jawa serta koordinasi bersama aparat penegak hukum untuk antisipasi penyelewengan di lapangan.
Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Saleh Abdurrahman mengatakan, untuk BBM rendah sulfur BPH Migas mengikuti kebijakan pemerintah. Untuk pembatasan BBM subsidi pun BPH Migas masih menantikan revisi Perpres 191 selesai.
"(Untuk harga) BBM rendah sulfur ini jika masuk kategori Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) maka harga ditetapkan oleh pemerintah. Kalau masuk JBU atau BBM Nonsubsidi maka oleh swasta," kata Saleh kepada Kontan, Selasa (6/8).
Menurut Saleh, untuk rendah sulfur itu mestinya ke depan semua jenis BBM yang beredar akan rendah sulfur, hanya saja dijalankan secara bertahap dulu.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, produk BBM rendah sulfur itu satu keniscayaan, seiring dengan program Nett Zero Emission, karena BBM sebagai produk energi fosil menghasilkan emisi.
"Soal harga tergantung nanti formulasi kebijakan harganya. Bisa jadi pemerintah menggelontor subsidi/kompensasi pada produk tersebut, sehingga sampai ke end user bisa lebih kompetitif," ungkapnya kepada Kontan, Selasa (6/8).
Memang, kata Tulus, dari sisi produksi BBM rendah sulfur ini bisa lebih mahal, tapi harga jual kepada konsumen ini bisa saja berbeda, bergantung nanti kebijakan harganya seperti apa.
Baca Juga: Harga Minyak Mentah Stabil karena OPEC Tetap pada Kebijakan Minyaknya
"Namanya barang lebih bagus. Kan logikanya lebih mahal. Itu sekali lagi dari biaya produksi. Harga pada end user tergantung "kompromi" operator dan regulator hilir, kan?," pungkas Tulus.
Pengamat bidang ekonomi energi dari ReforMiner Insitute Komaidi Notonegoro menilai pergantian Pertalite akan digantikan ke BBM rendah sulfur yang lebih baik tentunya harganya akan lebih mahal. Jika BBM rendah sulfur ini akan diberikan secara subsidi, maka subsidi-nya juga akan lebih besar lagi.
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyambut baik rencana produk BBM rendah sulfur ini. Namun, BBM rendah sulfur ini akan lebih mahal.
"Pasti harganya akan lebih mahal, dikhawatirkan nanti akan berdampak ke masyarakat dan ekonomi," kata Fahmy kepada Kontan, Selasa (6/8).
Fahmy menekankan konsumsi masyarakat akan bergeser ke BBM rendah sulfur jangan sampai karena harganya lebih mahal sehingga akan menurunkan daya beli masyarakat dan ekomoni nasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News