kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.503.000   7.000   0,47%
  • USD/IDR 15.469   31,00   0,20%
  • IDX 7.724   -10,91   -0,14%
  • KOMPAS100 1.201   -0,63   -0,05%
  • LQ45 959   0,26   0,03%
  • ISSI 232   -0,50   -0,21%
  • IDX30 492   -0,06   -0,01%
  • IDXHIDIV20 592   0,92   0,16%
  • IDX80 137   -0,08   -0,06%
  • IDXV30 143   0,06   0,04%
  • IDXQ30 164   0,05   0,03%

Pemerintah dan DPR Perlu Mencermati Urgensi Skema Power Wheeling Masuk RUU EBET


Senin, 08 April 2024 / 15:14 WIB
Pemerintah dan DPR Perlu Mencermati Urgensi Skema Power Wheeling Masuk RUU EBET
ILUSTRASI. Pekerja melakukan pembersihan alat bantu usai melakukan pemasangan jaringan aliran listrik di tiang Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), Depok, Jawa Barat (22/11/2023). Pemerintah dan DPR Perlu Mencermati Urgensi Skema Power Wheeling Masuk RUU EBET.


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan pemerintah dan DPR perlu mencermati urgensi skema power wheeling dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Enrgi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) karena dikhawatirkan merugikan bagi negara.

"Urgensi dari skema power wheeling yang dimasukkan dalam RUU EBET harus dijelaskan dan dipertimbangkan secara seksama karena memiliki potensi dampak buruk bagi negara," ungkap Abra dalam pernyataannya seperti dikutip Senin (8/4).

Hingga saat ini, lanjut Abra, baik pemerintah maupun DPR belum secara transparan menjelaskan alasan di balik skema power wheeling ini. 

Baca Juga: Pasokan Listrik Bagi Masyarakat Diharapkan Makin Andal Pasca Revisi Aturan PLTS Atap

"Pasal mengenai power wheeling ini seperti muncul dan tenggelam tanpa jejak. Selain itu, tujuan dan wujudnya pun masih belum jelas. Oleh karena itu, kita perlu mengawasi kebijakan ini dengan ketat," tambahnya.

Abra menjelaskan bahwa power wheeling merupakan sistem yang sangat liberal dan berisiko mengancam kedaulatan ketenagalistrikan yang seharusnya dikuasai oleh negara sesuai amanat UUD 1945. 

"Mahkamah Konstitusi sudah mengesahkan hal tersebut dengan membatalkan skema unbundling dalam UU Ketenagalistrikan," ujarnya.

Menurutnya, skema power wheeling memungkinkan transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara secara langsung. Namun, hal ini membawa risiko teknis yang dapat mengganggu keandalan pasokan listrik negara karena sifat intermiten dari EBET.

Abra juga mengkritik desakan untuk memasukkan power wheeling sebagai insentif, mengingat pemerintah telah menetapkan arah kebijakan energi baru dan energi terbarukan secara jelas dalam RUPTL 2021-2030. 

Baca Juga: Pemerintah Setuju Revisi Aturan PLTS Atap, Tarif Listrik Diharapkan Tetap Terjangkau

"Di dalam RUPTL yang sering disebut sebagai 'green RUPTL', terdapat peningkatan signifikan dalam porsi EBET, termasuk tambahan sebesar 20,9 gigawatt, di mana 56,3% di antaranya berasal dari sektor swasta," terangnya.

Menurutnya, keberadaan porsi yang signifikan bagi swasta dalam roadmap tersebut seharusnya cukup untuk meyakinkan investor bahwa negara telah memiliki arah yang jelas dalam mendorong bauran pasokan listrik dari EBET.

"Negara telah memberikan ruang yang luas bagi peran swasta dalam sisi pasokan. Namun, yang menjadi permasalahan sekarang adalah sisi permintaan listrik yang masih sangat rendah," tambahnya.

Abra menyoroti bahwa konsumsi listrik di Indonesia masih jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya, bahkan belum mencapai separuh dari Vietnam yang mencapai sekitar 2.500 kWh per kapita. "Hal yang seharusnya diperhatikan adalah peningkatan permintaan listrik, bukan hanya pasokannya."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Penerapan Etika Dalam Penagihan Kredit Macet Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK

[X]
×