Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dana pungutan ekspor (PE) yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dinilai terlalu besar disalurkan untuk industri biodiesel. Padahal industri biodiesel saat ini juga tengah menikmati murahnya harga bahan baku.
Sementara petani kelapa sawit kurang dilibatkan dalam penyediaan bahan baku industri biodiesel.
Untuk itu, pemerintah didesak agar melakukan terobosan regulasi guna mendekatkan petani sawit dan produsen biodiesel. Bagaimana petani terlibat langsung dalam memasok bahan baku untuk industri biodiesel. Maka transparansi dan keterlacakan menjadi bagian penting mencapai hal ini.
Muncul usulan agar produksi CPO petani diwajibkan digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Kemudian dalam menentukan harga CPO tersebut ditetapkan secara khusus antara petani dan industri biodisel, melalui perjanjian bisnis yang saling menguntungkan. Bila petani belum bisa memenuhi kebutuhan bahan baku industri biodiesel, barulah perkebunan kelapa sawit nasional terlibat dalam memasok kebutuhan bahan baku.
Baca Juga: Tunggangi Kenaikan Harga CPO, Sederet Emiten Sawit Ini Genjot Penjualan dan Produksi
Plt Kadiv Lembaga Kemasyarakatan Civil Society BPDPKS, Sulthan Muhammad Yusa, mengatakan, potensi pengembangan industri hilir CPO dalam negeri cukup besar. Ia mengatakan, pihaknya memproyeksikan produksi CPO dan stok pada tahun 2021-2025 akan mencapai 52,30 juta mt sampai 57,61 juta mt, atau rata-rata naik 4% per tahun.
Sementara kebutuhan biodiesel untuk program B30 di periode yang sama mencapai 8,34 juta MT - 9,66 juta MT atau setara 8,85 juta kiloliter - 11 juta kiloliter.
"Rata-rata naik 5% per tahun," ujarnya dalam FGD Sawit Berkelanjutan Vol 8, bertajuk "Peranan BPDPKS Mendorong Petani Kelapa Sawit Suplai Bahan Baku Biodiesel," Kamis (10/6) yang diselenggarakan Infosawit.
Menurut Yusa, pelibatan sawit sebagai energi terbarukan akan mendorong kenaiakan permintaan bahan baku CPO. Karena itu, pelibatan petani sawit dalam memasok bahan baku itu sangat menguntungkan petani kelapa sawit.
"Kami perlu mendorong program yang bermanfaat bagi petani yang memang membutuhkan," tutur Yusa.
Koordinator Investasi dan Kerjasama Bioenergi Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM, Elis Heviati, mengatakan, pemanfaatan biofuel tidak sebatas untuk biodiesel saja dan terbatas pada pengusaha skala besar. Ia bilang, perlu didorong penyediaan bahan baku produk biofuel berbasis kerakyatan.
"Termasuk mendorong pemanfaatan by product biodiesel, serta pemanfaatan hasil sawit non-CPO," ucapnya.
Baca Juga: Simak rencana bisnis SSMS dan DSNG di tengah naiknya harga CPO
Elis menambahkan, model kepesertaan petani dalam program mandatory biodiesel bisa berupa pengembangan pabrik minyak nabati industrial (IVO) dan bensin sawit dengan bahan baku dari TBS sawit rakyat, dimana biaya produksi lebih murah 15%-20% dari PKS konvensional.
Ricky Amukti dari Traction Energy Asia menambahkan, bahwa menempatkan pekebun mandiri kelapa sawit dalam rantai pasok biodiesel sangat dimungkinkan, terlebih pekebun sawit mandiri menguasai 40% dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
"Namun mereka sama sekali tidak mendapat manfaat dari program mereka secara langsung selama ini," terangnya.
Baca Juga: Pungutan ekspor CPO turun, kinerja produsen bisa lebih baik
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengatakan, dalam program mandatori biodiesel sawit, terdapat 18 industri memperoleh jatah untuk penyedia yang ditetapkan Kementerian ESDM untuk menjalankan program B30.
"Namun sayangnya tidak ada prasyarat kemitraan dengan petani," tuturnya.
Karena itu, semua pihak mendorong agar pemerintah melibatkan petani dalam rantai pasok bahan baku industri biodiesel dan energi terbarukan lainnya yang berbahan baku kelapa sawit.
Selanjutnya: Dorong ekspor, Indonesia pertimbangkan revisi pungutan ekspor CPO
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News