Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pakar energi dari Universitas Gajah Mada, Tumiran, menilai bahwa belum ada urgensi terkait dengan pasal power wheeling dalam RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBET) karena risikonya yang besar bagi negara.
Menurutnya, hal ini disebabkan oleh permintaan listrik yang masih rendah dan ketersediaan pasokan listrik yang mencukupi.
Tumiran menyarankan agar sebelum menerapkan power wheeling, pemerintah dan DPR harus memprioritaskan pembahasan regulasi yang memudahkan investasi. "Dengan meningkatnya investasi, akan meningkat pula permintaan listrik," ujarnya dalam keterangannya, Kamis (4/4).
Baca Juga: Skema Investasi Listrik Dinilai Bisa Ganggu Keandalan Listrik Nasional
Dia juga menjelaskan bahwa power wheeling bukan hanya tentang penggunaan transmisi bersama, tetapi juga melibatkan aspek-aspek seperti daya, frekuensi, dan tegangan. Penerapan power wheeling harus memperhatikan keandalan listrik negara agar tidak terganggu.
Tumiran menjelaskan bahwa power wheeling merupakan bagian dari struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan dengan menciptakan skema Multi Buyer Multi Seller (MBMS), yang berpotensi meningkatkan risiko kenaikan tarif listrik karena sulitnya menentukan tarif ketika ada banyak produsen listrik, termasuk swasta, yang menggunakan transmisi listrik milik negara.
Baca Juga: DPR dan Kementerian ESDM Bahas Kelanjutan RUU Energi Baru Terbarukan Pada April 2024
Dia menyarankan pemerintah dan DPR untuk lebih memfokuskan perhatian pada regulasi lain yang dapat mendorong pertumbuhan investasi, daripada terlalu fokus pada power wheeling yang dapat membuka pintu bagi pihak asing dan swasta untuk masuk dalam sistem ketenagalistrikan yang seharusnya dikuasai oleh negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News