Reporter: Ranimay Syarah | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Undang undang mineral dan batubara (UU Minerba) yang menyangkut pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, masih banyak mengalami tumpang tindih dengan peraturan perundangan lain masih menuai pro dan kontra.
Peraturan UU Minerba yang baru dirasa banyak pengamat dan pengusaha tambang lain kurang adil. Alasannya, ada sejumlah perusahaan besar milik asing yang terkesan dijadikan anak emas oleh pemerintah.
Demikian sejumlah poin dalam diskusi publik hari ini yang digelar oleh Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) bersama para pengamat tambang dan pemerintah di Jakarta.
Rachman Wiriosudarmo, Pengamat Energi yang juga mantan Direktur Pembinaan Pengusahaan Pertambangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berpendapat, tujuan pemanfaatan tambang dari pengolahan dan pemurnian itu tidak jelas.
Renegoisasi kontrak karya, misalnya, sejatinya bukan negosiasi ulang. Namun, hanya sekadar sosialisasi. Poin yang tertuang dalam pasal 170 UU No.4 tahun 2009 ini terkesan menguntungkan perusahaan besar seperti Freeport dan Newmont.
Ia bilang, Freeport makin memperkuat negara adidaya dengan menguras sumber alam di negara berkembang. Kalau pun untuk urusan smelter, itu hanya masalah tenaga kerja saja yang penting ada kepentingan negara.
"Renegoisasi kontrak karya apanya yang mau dinegosiasi? Itu sebetulnya melanggar UU. Kalau ada perusahaan yang tidak puas, bisa mengadu ke Mahkamah Konstitusi, " kata Rachman, Senin (13/01).
Namun, pernyataan Rachman dibantah oleh Dede Suhendra, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral ESDM.
Menurut Dede, pemerintah tidak bisa menolak begitu saja permohonan investor yang sudah mengeluarkan investasi besar, seperti Freeport atau Newmont.
"Kami tetap melakukan pengaturan dan tidak ada keberpihakan. Kita harus fair dan koordinasi dengan Kemenkeu tentang ketegasan. Fungsi kami kan hanya memfasilitasi, " kata Dede, Senin (13/01).
Ia bilang, Freeport sudah banyak kontribusi, namun mereka tidak bisa langsung mengeksekusi keinginannya.
"Pemerintah bisa mengundang siapa saja yang punya uang. Kita kasih kesempatan dengan nama Indonesia, tentu boleh saja. Hanya saja bukan merebut, tapi dengan membeli sahamnya atau sharing. Aturan kan tidak bisa berpihak dengan siapa-siapa, sekarang sudah ada penyeragaman kebijakan, " ungkap Dede.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News