Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan produksi siap jual alias lifting minyak nasional telah mencapai angka 600.000 barel per hari (bph) selama dua bulan terakhir, yakni pada November dan Desember 2024.
Angka ini naik jika dibandingkan sebelumnya berada di kisaran 575.000 bph hingga 580.000 bph pada Agustus hingga September 2024.
“Dua bulan terakhir ini, lifting kita sudah berada di angka 600.000 hingga 602.000 bph. Doakan, mudah-mudahan ini menjadi kabar baik bagi upaya kita memenuhi target lifting APBN 2025 sebesar 605.000 bph,” kata Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat Konferensi Pers di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (3/1).
Baca Juga: Pertamina Drilling Mulai Pengeboran Proyek Sumur Eksplorasi YKI-001
Bahlil menjelaskan, peningkatan lifting migas ini merupakan hasil dari serangkaian reformasi yang dilakukan sejak awal kepemimpinannya. Langkah-langkah tersebut melibatkan pembaruan kebijakan yang bertujuan menciptakan keseimbangan antara pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) alias kontraktor migas.
“Kami melakukan pendekatan saling menguntungkan dengan KKKS, baik melalui pola bagi hasil gross split maupun cost recovery. Dengan cara ini, kami mendorong peningkatan produksi secara signifikan,” ungkapnya.
Bahlil juga menekankan pentingnya fokus pada pencapaian target lifting ke depan. Sebab, realisasi lifting migas sebelumnya kerap tidak mencapai target APBN.
“Namun, kami yakin ini akan tercapai karena lifting kita kan turun terus antara target APBN dengan realisasi kan hampir tidak pernah tercapai nah kali ini kita fokus betul untuk kita mendorong dan kami mengusahakan insya Allah bisa melebihi dari target APBN,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (ASPERMIGAS), Moshe Rizal mengungkapkan, lifting minyak pada Desember 2024 telah mencapai di atas 600.00 bph, namun rata-rata lifting pada 2024 masih berada di angka 580.000 bph.
“Semoga bisa dijaga di atas 600.00 bph tahun ini,” kata Moshe kepada Kontan, Senin (6/1).
Baca Juga: PHR Catatkan Lifting 58 Juta Barel Minyak di Blok Rokan Sepanjang 2024
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan dengan cara mengoptimalkan sumur-sumur minyak tua, target tersebut akan bisa tercapai.
Komaidi menyoroti tantangan operasional dan ekonomi dalam pengelolaan sumur-sumur tua di sektor minyak dan gas (migas). Menurutnya, pengangkatan minyak dari sumur tua secara teknis memungkinkan, tetapi sering terkendala biaya produksi yang tinggi.
“Kalau biaya pengangkatan setara atau bahkan lebih besar dari harga minyak di pasar internasional, maka secara bisnis tidak layak dilakukan,” ujar Komaidi kepada Kontan, Senin (6/1).
Komaidi mencontohkan, jika harga minyak di pasar adalah US$ 80 per barel tetapi biaya produksinya mencapai angka yang sama atau lebih tinggi, perusahaan akan enggan berinvestasi karena tidak memberikan keuntungan.
Kondisi sumur tua, yang biasanya berada di lokasi terpencil dengan infrastruktur yang sudah usang, semakin meningkatkan biaya operasional. Karena itu, ia menekankan pentingnya investasi di eksplorasi baru untuk menggantikan cadangan lama yang kian menipis.
Baca Juga: Kebutuhan Gas Meningkat, PGN Siapkan Alternatif Sumber Gas
“Eksplorasi itu ibarat membuka kebun baru. Kalau pohon di kebun lama sudah tidak produktif, ya harus diganti dengan yang baru. Tapi dalam migas, eksplorasi punya risiko tinggi karena dana yang sudah dikeluarkan, misalnya jutaan dolar, bisa saja hilang jika cadangan baru tidak ditemukan,” jelasnya.
Komaidi juga menjelaskan model bisnis migas, di mana penggantian biaya (cost recovery) dilakukan dalam bentuk in-kind, yaitu bagian minyak atau gas dari hasil produksi.
"Perusahaan tidak menerima uang, tetapi bagian produksi minyak atau gas yang setara nilainya," katanya.
Tantangan eksplorasi ini menuntut kebijakan yang mendukung agar sektor migas tetap produktif di tengah kebutuhan energi nasional yang terus meningkat.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan, Bisman Bakhtiar mengungkapkan, untuk mempertahankan produksi harus meminimalkan dan antisipasi faktor faktor yang menghambat operasi, termasuk unplanned shutdown.
Baca Juga: PEP Donggi Matindok Field Mulai Eksplorasi Offshore
:Jika untuk meningkatkan harus mampu inovasi penggunaan teknologi, meningkatkan eksplorasi dan tentunya harus menarik investor. Oleh karena itu untuk menjamin kestabilan operasi dan investasi perlu ada kepastian hukum, sehingga harus segera diselesaikan RUU Migas," kata Bisman kepada Kontan, Senin (6/1).
Sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menetapkan target lifting sebesar 1.610 ribu barel setara minyak per hari (BOEPD). Angka ini mencakup produksi minyak sebesar 605 ribu barel per hari (BOPD) serta gas bumi sebesar 1.005 ribu BOEPD, sesuai proyeksi dalam APBN.
“Pengeboran masif, optimalisasi sumur idle, dan implementasi teknologi seperti Enhanced Oil Recovery (EOR) adalah bagian dari program strategis kami di 2025,” ungkap Djoko dalam keterangan resmi, Rabu (1/1).
Menurut Djoko, pencapaian target ini akan didukung oleh mekanisme reward and punishment bagi para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Selanjutnya: Harga Pangan NTB : Cabai, Bawang, dan Daging Ayam Naik, Senin (6/1)
Menarik Dibaca: 5 Minuman untuk Daya Tahan Tubuh Lebih Kuat, Biar Tidak Gampang Sakit!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News