kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Penduduk besar, Indonesia cuma punya 300 mal


Sabtu, 25 Januari 2014 / 11:07 WIB
Penduduk besar, Indonesia cuma punya 300 mal
ILUSTRASI. Kenali Risiko dan Efek Samping Tanam Bulu Mata


Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Jumlah pusat belanja seluruh segmen (atas, menengah, dan bawah) di Indonesia yang beroperasi hingga Desember 2013 sebanyak 300 buah. Angka tersebut tidak termasuk pusat belanja yang masih dalam tahap konstruksi, desain, dan perencanaan.

Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), A Stefanus Ridwan, mengungkapkan, dari jumlah tersebut mayoritas berada di Jakarta, disusul kawasan Bodetabek, Surabaya, Bandung, dan kemudian kota-kota utama lainnya di luar Pulau Jawa seperti Medan, dan Makassar.

"Sisanya terdistribusi merata di seluruh Indonesia. Bahkan, di Nusa Tenggara Timur pun sudah berdiri mal dengan peritel skala nasional besar yakni Floba Mora Mall," ujar Stefanus kepada Kompas.com, Kamis (23/1).

Kendati setiap tahun bertambah, namun Stefanus beranggapan bahwa bila dibandingkan dengan rasio populasi dan pendapatan per kapita, maka jumlah pusat belanja masih kurang.

Singapura contohnya, meski negara kecil berpenduduk 5,3 juta jiwa, mereka punya mal sebanyak 200 buah. Sementara Indonesia dengan populasi 237.641.326 jiwa (sensus penduduk BPS 2010), cuma memiliki 300 mal.

Dari jumlah tersebut, hanya lima persen saja yang dapat dikategorikan sebagai mal kelas atas atau sebanyak 15 pusat belanja. Sebagian besar lainnya, mal menengah dan bawah.

Sementara setiap tahun terjadi pergeseran kelas dan strata sosial. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta, jika pada tahun-tahun sebelumnya masyarakat A misalnya berada pada strata bawah, seharusnya saat ini naik kelas menjadi strata menengah.

"Pendapatan per kapita terus naik. Dengan demikian mereka punya kebutuhan lebih banyak lagi demi mendukung kualitas hidup yang lebih baik. Untuk itu, berapa pun jumlah mal terbangun, akan sangat bergantung kepada situasi pasar (supply and demand). Pada saat sekarang, menurut kami para peritel, jumlah mal memang masih sangat kurang. Kami punya kebutuhan melakukan ekspansi bisnis," ujar Tutum kepada Kompas.com, Jumat (24/1).

Lebih jauh Tutum mengatakan, Pemerintah Daerah seharusnya punya analisa mengenai rasio populasi dan pendapatan per kapita. Dari analisa tersebut akan dihasilkan berapa sesungguhnya kebutuhan mal yang dapat mengakomodasi masyarakatnya.

"Sayangnya, Pemerintah Daerah di Indonesia belum tahu bagaimana harus merancang kotanya apakah menjadi destinasi bisnis, destinasi wisata, destinasi investasi atau kuliner. Kecenderungannya saat ini sama saja. Padahal, kondisi pusat belanja di daerah berbeda-beda, ada yang butuh perbaikan kelas dan kualitas terkait peningkatan daya beli, sebaliknya ada juga yang butuh penambahan kuantitas," jelas Tutum. (Hilda B Alexander)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×