Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat ekonomi energi sekaligus Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menegaskan bahwa wacana dari sebagian pelaku industri pengguna gas bumi untuk mengimpor sendiri gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) dengan alasan harga lebih murah, bukanlah solusi yang tepat.
"Jika dianggap lebih baik, silakan coba impor sendiri. Biar merasakan berbagai komponen biaya tambahan dan fluktuasi harga karena harga LNG terkait langsung dengan indeks harga minyak," ujar Komaidi dalam keterangannya, Selasa (7/1).
Baca Juga: Produsen Kaca Lembaran Menentang Kebijakan Harga Gas Sebesar US$ 16,67 per MMBTU
Komaidi mengingatkan bahwa banyak pelaku industri masih beranggapan harga LNG di negara lain, seperti Amerika Serikat (AS), lebih murah dan bisa menguntungkan jika diimpor sendiri.
Namun, kenyataannya, ada berbagai komponen biaya tambahan untuk membawa LNG ke Indonesia.
"Biaya transportasi, regasifikasi, hingga berbagai biaya lain harus diperhitungkan. Belum lagi kewajiban take or pay dan beban keuangan lainnya dari penjual LNG," tegas Komaidi.
Ia menjelaskan setidaknya ada empat tahap proses dalam regasifikasi gas alam yang menambah biaya, terutama jika gas tersebut diambil dari wilayah yang tidak memiliki infrastruktur pipa. Hal ini menyebabkan harga LNG lebih mahal dibandingkan gas pipa.
Komaidi mempersilakan pelaku industri mencoba impor sendiri agar mengetahui apakah harga gas domestik benar-benar mahal.
Baca Juga: Sulit Kerek Harga Jual, Pebisnis Kelimpungan Hadapi Lonjakan Harga Gas
Saat ini, harga LNG internasional berkisar antara US$16 hingga US$17 per MMBTU, sementara gas pipa domestik, di luar program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT), berada pada kisaran US$10 hingga US$11 per MMBTU.
Penurunan pasokan gas pipa domestik disebabkan oleh penurunan alami (natural decline) di sejumlah sumur tua seperti Blok Corridor.
Dalam situasi ini, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) berupaya mencari alternatif sumber gas bumi yang tidak terjangkau infrastruktur pipa, salah satunya melalui regasifikasi LNG.
LNG ditawarkan kepada pelanggan industri untuk memenuhi kebutuhan energi ketika pasokan gas pipa terbatas.
Dengan langkah ini, PGN berfungsi sebagai buffer yang menanggung risiko infrastruktur, investasi, dan kontrak komersial yang mungkin muncul, dibandingkan jika pelaku industri mengimpor LNG sendiri.
Komaidi membantah tudingan bahwa harga LNG di Indonesia tidak transparan. Menurutnya, penetapan harga sudah mengacu pada harga internasional.
Baca Juga: Walau Lesu, Harga Komoditas Energi Diproyeksikan Masih Cukup Stabil di Kuartal I 2025
"Harga transparan, kecuali pemerintah memberikan subsidi, baru harga bisa turun," katanya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia Redma Gita Wirawasta menyebut, opsi impor LNG dari Timur Tengah dengan harga gas dari Qatar yang mencapai US$3 per MMBTU.
Setelah memperhitungkan ongkos kirim, regasifikasi, hingga distribusi ke Indonesia, harga tersebut diperkirakan mencapai US$6 per MMBTU.
Saat ini, harga gas Eropa TTF untuk pengiriman Januari 2025 berada pada level US$13,4 per MMBTU, naik dari US$12,7 per MMBTU pada pekan sebelumnya.
Harga gas AS HH untuk pengiriman periode yang sama naik dari US$3,3 menjadi US$3,8 per MMBTU.
Selanjutnya: Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol Hadapi Upaya Penangkapan Kedua yang Lebih Kuat
Menarik Dibaca: 5 Buah yang Membantu Menurunkan Gula Darah Tinggi jika Dikonsumsi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News