Reporter: Muhammad Julian | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamax Series belum mengalami perubahan sejak penyesuaian harga terakhir April 2022 lalu. Hal ini membuat harga Pertamax Series lebih rendah dibanding beberapa produk kompetitornya di kelas yang sama.
Saat ini, harga Pertamax untuk research octane number (RON 92) saat ini berkisar Rp 12.500 per liter - Rp 13.000 per liter, tergantung wilayah penyalurannya. Harga tersebut lebih murah dibanding produk-produk BBM di kelas RON 92 lainnya seperti BP 95 yang seharga Rp 15.990 per liter, REVO 95 Rp 15.900 per liter, dan Shell V-Power Rp 18.500 per liter.
Sementara itu, harga Pertamax Turbo yang memiliki nilai oktan/RON 98 masih berkisar Rp 14.500 per liter - Rp 15.100 per liter. lebih rendah dibandingkan produk BBM non Pertamina di kelas yang sama (RON 98), yakni Shell-V Power Nitro+ yang saat ini seharga Rp 19.420 per liter.
Sedikit informasi, formula harga dasar dalam perhitungan harga jual eceran jenis Bensin RON 95 dan jenis Bensin RON 98 diatur dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 62 Tahun 2020.
Menurut beleid tersebut, harga jual eceran kedua jenis BBM ini dihitung dengan formula MOPS atau Argus + Rp2.000/liter + Margin (10% dari harga dasar). Dengan mengacu kepada rumus itu, sejumlah pengamat menilai bahwa harga Pertamax Series saat ini masih berada di bawah harga keekonomian-nya.
Baca Juga: Pertalite Mendominasi Penjualan BBM Pertamina Hingga Mei 2022
Menurut hitungan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, harga keekonomian Pertamax (RON 92) berkisar Rp 16.000 per liter untuk kondisi saat ini. Angka tersebut dihitung dengan asumsi ICP Mei 109,16 per barel serta nilai tukar rupiah Rp 14.592 per dolar Amerika Serikat (AS).
Dengan kedua asumsi itu, Komaidi berkesimpulan bahwa biaya minyak mentah sebesar Rp 10.018 per liternya. Setelah ditambah biaya kilang, biaya distribusi, margin badan usaha, pajak, dan margin SPBU, maka harga keekonomian Pertamax menjadi sebesar Rp16.000 per liter menurut hitungan Komaidi.
“(Harga keekonomian) RON 95 dan turbo (Pertamax Turbo) umumnya selisih sekitar Rp 2000 per liter (dibanding harga keekonomian Pertamax RON 92),” tutur Komaidi kepada Kontan.co.id (5/6).
Senada dengan Komaidi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Padjadjaran, Yayan Satyaki juga memperkirakan bahwa produk Pertamax Series dijual di bawah harga keekonomian nya. Hitungan Yayan, harga keekonomian Pertamax seharusnya berada di Rp13.000 per liter - Rp14.500-an per liter, tergantung harga minyak impor seperti OPEC Price.
Sementara itu, harga keekonomian Pertamax Turbo ia perkirakan berkisar di angka Rp15.000 per liter - Rp17.000-an per liter.
“(Harga keekonomian Pertamax Turbo) tergantung fluktuasi harga kilang minyak Timur Tengan dan kondisi reserve bunker di Singapura,” imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan memperkirakan bahwa BBM RON 92 idealnya berada di sekitar Rp 15.000 per liter - Rp 16.000an per liter saat ini, sementara BBM di kelas RON 98 idealnya dijual di harga Rp 17.000 per liter -Rp 18.000an per liter.
“Sebagai perbandingan saya kira kita bisa gunakan harga dari SPBU swasta,” ujar Mamit saat dihubungi Kontan.co.id (5/6).
Mamit menilai, opsi menaikkan harga Pertamax Series bisa bantu meringankan beban keuangan Pertamina.
Menurutnya, hal ini juga merupakan hal yang wajar untuk produk JBU seperti Pertamax Series, sebab Pasal 14A ayat 1 Kepmen ESDM 62 2020 mengatur bahwa harga jual eceran Jenis BBM Umum (JBU) di titik serah untuk setiap liter, dihitung dan ditetapkan oleh Badan Usaha berdasarkan formula harga tertinggi yang terdiri atas harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
“Meskipun saat ini konsumsi Pertamax hanya 19% dari total konsumsi gasoline nasional dan Pertamax Turbo 1% saja. Jadi sepertinya Pertamina masih menunggu lampu hijau dari pemerintah,” terang Mamit.
Meski begitu, Mamit tidak menampik bahwa opsi menaikkan harga Pertamax Series juga datang dengan dampak negatif. Kenaikan harga Pertamax Series, menurut Mamit, bisa membuat selisih harga antara Pertamax Series dan Pertalite menjadi makin lebar.
Baca Juga: ICP Bulan Mei 2022 Naik Jadi US$ 109,61 Per Barel, Ini Gara-Garanya
Hal tersebut pada gilirannya bisa mendorong terjadinya ‘migrasi’ pengguna dari produk Pertamax Series ke Pertalite dan membuat beban tanggungan pemerintah semakin bengkak dalam membayar kompensasi produk jenis BBM khusus penugasan (JBKP)
Komaidi menilai, opsi menaikkan harga Pertamax Series tuk mengurangi beban keuangan Pertamina tidak memiliki dampak negatif. Hal ini lantaran produk Pertamax Series bukan merupakan jenis BBM penugasan/public service obligation (PSO).
Komaidi menduga, keputusan Pertamina untuk menahan harga Pertamax disebabkan Pertamina belum mendapat izin dari pemerintah sebagai pemegang saham.
“Aksi korporasi seperti menaikkan harga produk umumnya memerlukan persetujuan pemegang saham,” terang Komaidi.
Sementara itu, Yayan berpandangan bahwa Pertamina sebagai BUMN yang diserahi tugas untuk mengurus Sumberdaya Energi khususnya minyak dan gas (migas) memang dituntut kuat untuk memberikan pelayanan publik energi. Oleh karenanya, Pertamina tidak bisa melepas harga keekonomian seperti kompetitornya.
Yayan memperkirakan, opsi menyamakan harga Pertamax dengan harga kompetitor bakal memberi efek domino terhadap kenaikan harga, yakni berupa inflasi.
“Saat ini inflasi benar-benar sedang dijaga karena BI kurang memiliki amunisi kebijakan untuk menjaga tingkat suku bunga rendah karena khawatir akan mengganggu pembiayaan jika bunga kredit tinggi. Jadi harga BBM sebagai salah satu faktor stabilisasi ekonomi sangat krusial. Fungsi Pertamina disini sudah bukan lagi seperti fungsi corporate biasa yang orientasinya profit. Tetapi sebagai strategic corporate untuk penyedia barang public,” terang Yayan.
Baca Juga: Ada Kuota, Beli Pertalite Pakai Aplikasi MyPertamina Bakal Berlaku Tahun Ini
Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Sub Holding Pertamina Commercial & Trading, Irto Ginting mengungkapkan, pihaknya masih melakukan kajian terkait penyesuaian harga. Diakui Irto, pergerakan harga minyak dunia turut berdampak kepada bisnis hilir Pertamina.
"Harga minyak yang tinggi tentunya memberi tekanan pada bisnis hilir (Pertamina)," ungkap Irto kepada Kontan, Minggu (5/6).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News