Reporter: Muhammad Julian | Editor: Anna Suci Perwitasari
Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan memperkirakan bahwa BBM RON 92 idealnya berada di sekitar Rp 15.000 per liter - Rp 16.000an per liter saat ini, sementara BBM di kelas RON 98 idealnya dijual di harga Rp 17.000 per liter -Rp 18.000an per liter.
“Sebagai perbandingan saya kira kita bisa gunakan harga dari SPBU swasta,” ujar Mamit saat dihubungi Kontan.co.id (5/6).
Mamit menilai, opsi menaikkan harga Pertamax Series bisa bantu meringankan beban keuangan Pertamina.
Menurutnya, hal ini juga merupakan hal yang wajar untuk produk JBU seperti Pertamax Series, sebab Pasal 14A ayat 1 Kepmen ESDM 62 2020 mengatur bahwa harga jual eceran Jenis BBM Umum (JBU) di titik serah untuk setiap liter, dihitung dan ditetapkan oleh Badan Usaha berdasarkan formula harga tertinggi yang terdiri atas harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
“Meskipun saat ini konsumsi Pertamax hanya 19% dari total konsumsi gasoline nasional dan Pertamax Turbo 1% saja. Jadi sepertinya Pertamina masih menunggu lampu hijau dari pemerintah,” terang Mamit.
Meski begitu, Mamit tidak menampik bahwa opsi menaikkan harga Pertamax Series juga datang dengan dampak negatif. Kenaikan harga Pertamax Series, menurut Mamit, bisa membuat selisih harga antara Pertamax Series dan Pertalite menjadi makin lebar.
Baca Juga: ICP Bulan Mei 2022 Naik Jadi US$ 109,61 Per Barel, Ini Gara-Garanya
Hal tersebut pada gilirannya bisa mendorong terjadinya ‘migrasi’ pengguna dari produk Pertamax Series ke Pertalite dan membuat beban tanggungan pemerintah semakin bengkak dalam membayar kompensasi produk jenis BBM khusus penugasan (JBKP)
Komaidi menilai, opsi menaikkan harga Pertamax Series tuk mengurangi beban keuangan Pertamina tidak memiliki dampak negatif. Hal ini lantaran produk Pertamax Series bukan merupakan jenis BBM penugasan/public service obligation (PSO).
Komaidi menduga, keputusan Pertamina untuk menahan harga Pertamax disebabkan Pertamina belum mendapat izin dari pemerintah sebagai pemegang saham.
“Aksi korporasi seperti menaikkan harga produk umumnya memerlukan persetujuan pemegang saham,” terang Komaidi.