Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Program transisi energi seringkali menghadapi banyak hambatan, salah satunya untuk mendapatkan pendanaan. Selain karena faktor risiko, kemampuan finansial dari perusahaan swasta domestik relatif terbatas, sehingga investasi di bidang energi terbarukan belum berjalan sesuai harapan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan, saat ini pendanaan energi terbarukan tersedia dari berbagai sumber, baik di dalam dan luar negeri.
Di dalam negeri lembaga keungan dimandatkan Otoritas Jasa Keungan (OJK) untuk memberikan pendanaan hijau, salah satunya adalah untuk proyek energi terbarukan. Selain itu ada juga pendanaan dari luar negeri dalam berbagai bentuk, dengan target proyek energi terbarukan di dalam negeri
Namun demikian, kendala yang kerap ditemukan adalah jumlah proyek yang bankable terbatas. Ini yang membuat lembaga keuangan khususnya bank sangat berhati-hati memberikan pendanaan, karena persepsi risiko yang tinggi terhadap proyek energi terbarukan di Indonesia.
"Di beberapa kasus, kemampuan finansial swasta domestik relatif terbatas, modalnya tidak kuat. Dengan ketentuan bank-bank lokal menuntut tingkat ekuitas yang cukup tinggi (30%-40%), investor lokal mengalami kesulitan memenuhi ketentuan ini," ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (11/8).
Baca Juga: Investasi migas masih jadi penopang, kebijakan penurunan karbon mesti dibuat lengkap
Fabby menegaskan, penurunan emisi karbon di sektor energi dilakukan melalui peningkatan energi terbarukan. Untuk itu lembaga keuangan saat ini seharusnya melihat pembiayaan energi terbarukan sebagai bisnis yang prospektif, dan dengan dukungan aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang green finance, lembaga keuangan harus aktif mencari proyek-proyek energi baru dan terbarukan (EBT) yang didanai.
Selain itu, mereka juga perlu memperkuat kapasitas internal, meningkatkan kemampuan penilaian risiko dan membuat produk-produk pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan pasar Indonesia.
"Lembaga keuangan juga perlu menjadikan pembiayaan batubara masuk dalam exclusion list, dan memfokuskan pembiayaan ke energi bersih, energi terbarukan dan efisiensi energi," ujar Fabby.
Di sisi lain, Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia Shinta Kamdani mengungkapkan, transformasi ke ekonomi yang lebih berkelanjutan membutuh investasi lebih besar. Selain memanfaatkan memanfatakan alokasi keuangan publik seperti APBN, keuangan swasta sangat penting.
"Maka dari itu, perlu dorongan dari dunia perbankan dan penyedia layanan keuangan untuk mengatasi implikasi strategis dan organisasional ini," tegasnya.
Namun sayang, saat ini masih terjadi hambatan di swasta untuk berinvestasi karena kurang minatnya lembaga keuangan lokal berinvestasi di sektor EBT di tengah suku bunga yang tinggi dalam layanan proyek EBT. Selain itu, investasi di sektor EBT ini dianggap punya resiko yang tinggi.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, Indonesia berkomitmen mengatasi isu terkait penurunan emisi dengan mengimplementasikan teknologi canggih dan bersih, serta pembiayaan di sektor energi sebagai langkah mendukung pencapaian target Paris Agreement.
Target tersebut adalah penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% hingga 2030 mendatang. Adapun bila mendapatkan dukungan dari negara internasional, Indonesia bisa meningkatkan penurunan emisi gas hingga 41% di 2030.
Baca Juga: Dewan Energi Nasional ingatkan tidak buru-buru transisi ke energi terbarukan
Sejalan dengan target tersebut, Indonesia memiliki potensi EBT cukup besar dan belum dikembangkan. Arifin mengatakan, potensi EBT di Indonesia kurang lebih 418 Giga Watt yang berasal dari berbagai sumber, seperti hidro, bioenergi, panas bumi, angin, surya, dan laut. Namun, EBT yang saat ini baru dimanfaatkan sebesar 2,5% dari potensi yang ada.
Di samping itu, saat ini bauran EBT di Indonesia baru mencapai 11,2%, sedangkan target bauran EBT nasional sebesar 23% di 2025 mendatang.
"Saat ini kementerian ESDM telah menyusun grand strategy energi Nasional yang diharapkan mampu membuahkan solusi untuk menjawab tantangan ketahanan kemandirian emisi nasional dan menjawab tantangan yang saat ini dihadapi, antara lain keterbatasan pengembangan EBT dan tuntutan pembangunan infrastruktur yang lebih masif," jelasnya.
Adapun untuk mewujudkan grand strategy ini, Arifin mengatakan Kementerian ESDM mendorong terwujudnya kolaborasi transisi energi. Dalam hal ini, diharapkan pemerintah membangun kongsi kebijakan dan keuangan sehingga dapat menciptakan iklim bisnis yang lebih kondusif agar perusahaan di Indonesia lebih memanfaatkan EBT secara berkelanjutan.
Selanjutnya: Sambangi Blok Rokan, Menteri BUMN ingin produksi ditingkatkan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News