Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Munculnya rencana perubahan skema pemberian bantuan subsidi LPG 3 kilogram dengan menggunakan kartu mengundang tanggapan dari beberapa pengamat.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai, subsidi LPG 3 kg umumnya tergolong besar dan sudah bertahun-tahun memberatkan APBN. Belum lagi, selama ini distribusi LPG dilakukan secara terbuka sehingga potensi salah sasaran tinggi sekali.
Baca Juga: Ini tanggapan Kementerian ESDM dan Pertamina soal penerapan subsidi LPG dengan kartu
Meski beberapa kali ada wacana bahwa penyaluran subsidi LPG dilakukan secara tertutup, namun pemerintah tak kunjung menemukan formula yang tepat.
Fahmy pun menganggap, rencana pengintegrasian subsidi LPG 3 kg dengan Program Kartu Sembako merupakan langkah positif dari pemerintah. “Jadi, subsidi bisa langsung menyasar ke masyarakat miskin yang sudah terdata,” kata dia ketika dihubungi Kontan, Selasa (7/7).
Senada, Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro berpendapat, perubahan skema penyaluran subsidi LPG 3 kg dengan menggunakan kartu akan memperbaiki kualitas kebijakan tersebut di masa mendatang. “Dengan menggunakan basis data tertentu yang sudah menjadi acuan program lain, setidaknya kriteria penerima subsidi menjadi lebih sederhana,” ungkapnya kepada Kontan, hari ini.
Para pengamat pun sepakat bahwa koordinasi solid antar Kementerian beserta PT Pertamina (Persero) selaku pelaksana subsidi LPG 3 kg sangat diperlukan. Utamanya dalam memastikan data-data penerima subsidi sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Data tersebut juga hendaknya selalu diperbarui secara berkala menyesuaikan kondisi perubahan sosial-ekonomi nasional.
Baca Juga: Konsumsi BBM di DI Yogyakarta meningkat 17% di bulan Juni
Terlepas dari adanya perubahan skema, Komaidi memperkirakan, konsumsi LPG nasional belum akan tumbuh normal bahkan hingga awal tahun depan. Hal ini akibat masih terasanya dampak wabah Corona meski sejumlah aktivitas ekonomi mulai pulih seiring pelonggaran kebijakan PSBB. “Konsumsi ada ekspektasi meningkat namun pertumbuhannya akan berjalan lambat,” tutur dia.
Sementara itu, Fahmy menyatakan, cepat atau lambat Indonesia harus bisa mengurangi subsidi LPG. Ini mengingat sudah menjadi fakta bahwa Indonesia masih mengimpor LPG dalam jumlah yang cukup besar. Jumlah impor LPG bisa bertambah banyak jika kebijakan subsidi tidak tepat sasaran.
Mengutip berita sebelumnya, Kementerian ESDM mencatat bahwa di tahun 2019 terdapat 5,73 juta metrik ton LPG yang diperoleh melalui impor. Jumlah tersebut mencakup 75% dari total kebutuhan LPG nasional pada saat itu.
Baca Juga: Kejaksaan akan eksekusi dua barang bukti ratusan milyar di kasus eks dirut TPPI
Menurut Fahmy, penggunaan jaringan gas (jargas) dapat menjadi alternatif di samping penggunaan LPG. Apalagi, harga gas yang diperoleh dari jaringan pipa transmisi lebih murah dari LPG. “Namun, jargas harus dibangun sampai ke rumah-rumah. Itu pun baru efektif jika dilakukan di daerah yang dekat sumber gas. Kebijakan ini jelas tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek,” terang dia.
Catatan Kontan, Kementerian ESDM mencanangkan pembangunan jargas hingga mencapai 4 juta sambungan rumah (SR) pada tahun 2024. Adapun pada tahun 2020, pemerintah menargetkan pembangunan jargas sebanyak 266.070 SR. Namun, jumlah ini berkurang menjadi hanya 127.864 SR lantaran sebagian dananya dialihkan untuk penanganan pandemi Corona.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News