kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat sebut penetapan hutan adat perlu verifikasi lapangan agar terhindar konflik


Kamis, 20 Juni 2019 / 16:17 WIB
Pengamat sebut penetapan hutan adat perlu verifikasi lapangan agar terhindar konflik


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Kebijakan dalam penetapan suatu kawasan menjadi hutan adat perlu dilakukan secara hati-hati dan teliti. Pasalnya, sejumlah besar wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan juga mempunyai penguasaan dan kepemilikan. Bila hal ini tidak diperhatikan, berpotensi menyulut konflik berkepanjangan.

Pengamat hukum kehutanan dan lingkungan Sadino mengatakan, penetapan suatu kawasan menjadi hutan adat sebaiknya dilakukan di kawasan yang bebas dari konflik kepemilikan. Untuk itu, ia mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus memperbaharui data base kehutanan, termasuk dalam penetapan kawasan hutan adat.

"Harus ada penyusunan peta indikatif yang terverifikasi di lapangan. Maka bila ditemukan ada kawasan telah menjadi hak pihak lain seperti Hak Guna Usaha (HGU) sebaiknya dikeluarkan supaya tidak menjadi masalah dikemudian hari," ujar Sadino, Kamis (20/6).

Ia melanjutkan, hal ini juga penting untuk memberikan kepastian hukum dan kelangsungan berusaha. Pemerintah juga berkewajiban memberiakn perlindungan hukum kepada pemegang HGU. 

Sadino menyarankan klaim Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang mencatat dari 9,6 juta hektar wilayah adat yang terpetakan dan terdaftar di pemerintah, ada 313.000 hektar tumpang tindih dengan izin-izin HGU yang tersebar di 307 komunitas adat perlu diverifikasi. "Semua bisa berbicara dan melakukan klaim, tapi perlu ada verifikasi di lapangan," sarannya.

Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Sudarsono Soedomo menambahkan, Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sangat syarat penghargaan terhadap hukum adat, tetapi UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan cenderung mereduksinya. "Kesulitan itu akbiat keterlambatan pemerintah menyelesaikan persoalan lahan yang berkaita dengan hukum adat tersebut," ujarnya.

Karena itu, kata Sudarsono perlunya keterlibatan pihak yang punya kompetensi untuk mengenali ciri-ciri masyarakat hukum adat dalam proses penetapan batas wilayahnya. Disisi lain, sangat dimungkinkan bahwa di tempat tertentu penetapan wilayah masyarakat hukum adat sudah tidak dimungkinkan lagi. 

“Dalam situasi seperti ini sebaiknya penetapan wilayah masyarakat hukum adat jangan dipaksakan,” Kata Sudarsono.

Sudarsono menyarankan, KLHK tidak bekerja sendiri dalam penetapan hutan adat. Peran pemerintah daerah sangat sentral, karena masyarakat hukum adat perlu Perda yang memuat batas wilayah masyarakat hukum adat tersebut. 

“Bantuan  pakar antropologi dalam proses penentuan batas wilayah masyarakat hukum adat juga diperlukan. Selain itu, peran Kementerian ATR/BPN dalam menata ruang dan meregistrasi penguasaan lahan menjadi sangat penting,” kata dia. 

Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB  Yanto Santosa mengatakan, kebijakan hutan adat  menjamin kepastian bagi masyarakat adat dan berpotensi memperkecil persoalan tenurial. Hanya saja, dalam pemanfaatannya harus tetap megikuti fungsi hutan yang telah ditetapkan.

Misalnya, ketika pemerintah menetapkan kawasan Taman nasional sebagai hutan adat, masyarakat adat harus tetap melakukan fungsi konservasi dan menjaga kawasan tersebut.

“Sebaliknya, jika hutan adat berada di fungsi hutan produksi, hormati keinginan masyarakat untuk menanam apapun termasuk sawit,” kata Yanto Santosa. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×