Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah hingga memasuki bulan Februari 2025 belum merealisasikan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Padahal, BP Tapera sebagai pengelola dana FLPP telah melakukan penandatanganan kerja sama pembiayaan FLPP untuk tahun ini dengan 39 bank penyalur sejak Desember 2024.
Asosiasi pengembang Realestat Indonesia (REI) mendesak pemerintah untuk segera mempercepat realisasi penyaluran FLPP. Sebab para pengembang rumah subsidi sudah mulai mengalami kesulitan cashflow.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) REI Joko Suranto mengatakan, saat ini ada 17.000 rumah subsidi yang sudah dibangun pengembang tetapi belum bisa dilakukan akad kredit lantaran pemerintah belum merealisasikan FLPP.
“Jadi, saat ini ada 17.000 orang menunggu untuk punya rumah. Selain itu, 17.000 rumah ini juga harus di-maintenance pengembang,” kata Joko dalam keterangannya, Rabu (5/2).
Joko menekankan pentingnya aspek kepastian dan keberlanjutan dalam menjalankan program FLPP. Ia bilang ketidakpastian merupakan situasi yang sangat berat bagi pelaku usaha.
Baca Juga: BP Tapera Salurkan 3.535 Unit Rumah Subisidi per 5 Februari 2025
Menurutnya, keterlambatan realisasi penyaluran juga bisa menimbulkan ketidakpercayaan kalangan industri terhadap program 3 juta rumah yang diusung pemerintah. Pasalnya, program dengan sistem yang sudah berjalan baik selama ini saja tidak bisa dieksekusi dengan cepat.
Bila hingga pertengahan Februari program FLPP belum direalisasikan, Joko mengatakan REI akan memerintahkan anggotanya untuk melakukan penjualan unit rumah yang sudah ready stock dengan cara-cara lain agar bisa menjaga cashflow dulu.
“Kami akan minta anggota REI untuk menjual dengan cara lain, apakah skema jual rugi, diskon, atau cara lain, yang penting bisa hidup dulu. Lalu untuk pembangunan proyek selanjutnya , kami akan minta pengembang wait and see saja, sampai ada kejelasan realisasi FLPP,” tambah Joko.
Seperti diketahui, pemerintah telah menganggarkan Rp 28,27 triliun untuk program FLPP. Dana itu akan dipakai sebagai bantuan likuiditas untuk membiayai pembangunan 220.000 unit rumah subsidi. Pembiayaan FLPP tersebut menggunakan skema pendanaan 75% ditanggung pemerintah dan 25% dari likuiidtas bank.
Namun, pemerintah saat ini tengah menggodok mengubah skema pendanaan FLPP menjadi 50% ditanggung APBN an 50% dari likuiditas perbankan. Hal itu ditujukan agar jumlah rumah subsidi yang bisa dibiayai bisa lebih dengan anggaran APBN yang sama. Skema baru ini diharapkan bisa membiayai 330.000 unit rumah.
Joko tidak mempermasalahkan jika pemerintah mengubah skema pembiayaan FLPP tersebut. Namun, ia hanya mendorong sistem yang sudah ada dijalankan saja terlebih dahulu agar kegiatan bisnis bisa berjalan baik.
Pembangunan perumahan merupakan siklus bisnis yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan 180 industri lainnya. Karena itu, kata Joko, mandek-nya siklus ini akan mengganggu sektor riil, ada jutaan orang yang bekerja di bisnis perumahan yang terancam dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap program 3 juta rumah.
Joko menjelaskan bahwa yang menikmati manfaat program FLPP adalah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan yang mendapatkan fasilitas likuiditas adalah perbankan. Sementara pengembang sebagai mitra pemerintah dan pelaku ekosistem yang bertugas menyuplai rumahnya. Sehingga kurang tepat jika ada tuntutan berlebihan dari pemerintah kepada pengembang atau asosiasi.
Baca Juga: Data BPS Bakal Jadi Acuan Bantuan Perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Menyinggung permintaan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) agar asosiasi pengembang menyiapkan dana estimasi harga membangun rumah subsidi, REI memandang acuan harga setempat yang dulu telah dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan menggunakan pedoman harga setempat cukup akurat.
Sedangkan pengembang hanya merupakan pengguna (end user) saja. Oleh arena itu, ia menilai agak janggal bila pemerintah meminta estimasi kepada asosiasi usaha karena asosiasi bukanlah institusi yang kredibel secara akademis atau kajian.
Ia mempertanyakan kenapa Kementerian PKP tidak menggunakan saja instansi pemerintah yang memang memiliki kemampuan tepercaya di bidang kajian akademis untuk menghitung seperti yang dilakukan Kementerian PUPR dulu dalam menentukan harga rumah subsidi. “Ketika perhitungan tersebut dilakukan oleh banyak pihak maka hasilnya akan bias dan membingungkan, karena pasti hasilnya berbeda-beda.” pungkasnya.
Selanjutnya: Update Februari 2025: Daftar Harga Samsung Galaxy A55 5G Semua Varian
Menarik Dibaca: Resep Mini Churros yang Cocok untuk Anak Kos, Hanya Modal Garpu
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News