Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Program pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) masih belum berjalan signifikan. Pasalnya, penggunaan batubara di Indonesia mencatatkan rekor tertinggi pada 2023 dan menandakan bahwa pembangkit listrik dari batubara masih memiliki proporsi yang besar.
Menurut data dari lembaga think tank Ember, pada tahun 2023, Indonesia dan Filipina mencatat rekor tertinggi dalam penggunaan batubara untuk pembangkit listrik, melampaui Polandia dan China. Batubara saat ini menghasilkan hampir dua pertiga alias 62% listrik di kedua negara Asia Tenggara ini, menandakan peningkatan ketergantungan pada batubara.
Pada tahun 2023, Indonesia mengungguli Polandia dalam hal proporsi pembangkitan listrik dari batubara, mencapai 61,8%. Indonesia telah mengungguli China dalam proporsi penggunaan batubara sejak tahun 2022.
Laporan yang sama menyebutkan bahwa pada tahun 2023, tenaga surya dan angin hanya menghasilkan 0,3% dan 3,2% dari total produksi listrik di Indonesia dan Filipina, jauh di bawah rata-rata negara ASEAN sebesar 4,4% dan pemimpin regional Vietnam sebesar 13%.
Berdasarkan catatan Dewan Energi Nasional (DEN), persentase bauran energi tertinggi di Indonesia pada tahun 2023 masih dipegang oleh batubara, yaitu sebesar 40,46%. Namun, persentase tersebut terus menurun dari tahun sebelumnya yang sebesar 42,38%.
Baca Juga: Pemerintah Hanya Akan Berikan IUP Batubara untuk Ormas Keagamaan
Data DEN menerangkan bahwa persentase bauran energi tertinggi tahun 2023 masih didominasi Batubara (40,46%), Minyak Bumi (30,18%), Gas Bumi (16,28%), EBT (13,09%). Persentase energi baru terbarukan (EBT) meningkat 0,79% sehingga menjadi 13,09% pada tahun 2023. Namun realisasi tersebut masih di bawah target yang ditetapkan sebesar 17,87%.
Sebelumnya, Pemerintah menargetkan bauran energi nasional sebesar 19,49% pada tahun 2024 dan optimis mampu mencapai 23% pada tahun 2025. Namun, ESDM merevisi target bauran EBT di Indonesia pada tahun 2025 menjadi sebesar 17%-19%.
Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Siti Sumilah Rita Susilawati mengatakan, memang bauran energi tertinggi pada tahun 2023 yaitu batubara sebesar 40,46%.
Namun persentase tersebut terus menurun jika dilihat dari bauran energi batubara tahun sebelumnya yang berada di 42,38%, berarti bahwa bauran energi lain terutama EBT mengalami peningkatan di 2023 menjadi sebesar 13,09% dari tahun sebelumnya hanya 0,79%.
"Hal ini berarti bahwa Pemerintah serius dalam pengembangan energi terbarukan termasuk dalam rangka pengurangan penggunaan energi fosil," kata Rita kepada Kontan, Selasa (2/7).
Di sisi lain, kata Rita, PT PLN (Persero) di beberapa pernyataan juga menyatakan bahwa transisi dari PLTU ke pembangkit-pembangkit tenaga listrik berbasis EBT juga terus dilakukan.
Menurut Rita, batubara masih dianggap penting lantaran menyumbang porsi PNBP cukup besar untuk APBN jika dilihat PNBP keseluruhan sektor Minerba pada tahun 2023 sebesar Rp 173 triliun atau menyumbang 58% dari total keseluruhan PNBP sektor ESDM.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengatakan, batubara memang dari awal merupakan energi primer terbesar dan juga paling ekonomis. Namun, saat ini Indonesia sudah berkomitmen untuk mendorong bauran energi terbarukan yang harus dipercepat prosesnya dan saat ini sedang dalam proses pengembangan sumber-sumber energi terbarukan.
"Namun, untuk menghasilkan pembangkit dari sumber energi terbarukan itu kan tidak bisa sekejap," ungkapnya kepada Kontan, Selasa (2/7).
Baca Juga: Pemerintah Hanya Akan Berikan IUP Batubara untuk Ormas Keagamaan
Eddy menuturkan, pengembangan EBT lebih lama dibanding membangun PLTU sehingga harus dilakukan secara simultan. Oleh karena itu, PLTU yang menggunakan energi fosil tetap digunakan sambil membangun pembangkit listrik dengan energi terbarukan.
"Jadi itu harus [penggunaan batubara] dilakukan. Untuk sementara waktu saya kira itu akan berjalan secara beriringan. Batubara tetap akan dipergunakan dan tetap akan bermanfaat bagi kita," tandasnya.
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto menambahkan, tenaga listrik Indonesia memang harus diakui masih bergantung pada sumber batubara. Lebih dari 60% pembangkit listrik adalah PLTU.
Pada RUPTL PLN 2024-2033 adalah RUPTL yang paling hijau, karena sampai tahun 2030 nanti akan ditambah kapasitas terpasang sebesar 21 GW pembangkit, di mana sebesar 51,6% -nya berasal dari sumber EBT.
"Namun demikian, dalam implementasinya, rencana tersebut tentu saja bersifat dinamis mengikuti perubahan dinamika lingkungan strategis yang ada," ungkapnya kepada Kontan, Selasa (2/7).
Menurut Mulyanto, Indonesia memiliki sumber daya batubara yang melimpah dan harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Negara seperti AS dan Uni Eropa saja bersikap sangat realistis terhadap dinamika ekonomi dan geopolitik mereka.
AS dan Uni Eropa mengenakan tarif impor yang tinggi untuk kendaraan listrik, panel surya, dan barang-barang lainnya dari China, karena dianggap disubsidi secara besar-besaran oleh negara.
"Artinya implementasi listrik berbasis EBET ini tidak boleh didasarkan pada tekanan atau didikte oleh pihak internasional, sementara negara-negara maju seperti AS dan Uni Eropa sendiri tidak memperlihatkan komitmen yang baik," tandasnya.
Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi menuturkan, ada pertimbangan ekonomis sehingga Indonesia masih menggunakan energi fosil. Mulai dari cadangan yang masih banyak, energi yang murah, masih bisa buat ekspor, hingga produksi yang terus bertambah, terlebih ada kebijakan terbaru soal Ormas boleh kelola tambang.
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Associaton (IMA) Hendra Sinadia mengungkapkan bahwa batubara masih menjadi sumber energi yang paling handal, paling terjangkau.
Bukan hanya di Indonesia, sebagian besar negara di Asia termasuk Tiongkok dan India masih mengandalkan batubara untuk ketahanan energi mereka.
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli secara nasional dalam bauran energi memang Indonesia masih dominan menggunakan pembangkit PLTU batubara atau sebesar 62%.
Namun, secara global Indonesia hanya memiliki PLTU sebesar 29.300 MW. Bandingkan dengan China sebesar 972.500 MW, USA dan India masing-masing 261.000 MW dan 220.600 MW.
"Indonesia masih sangat kecil pemakaian PLTU batubara hanya sekitar 3% secara global. China dan India terus menambah kapasitas PLTU batubaranya dengan alasan kekurangan pasokan listrik untuk industri dan kebutuhan rakyatnya," ungkapnya kepada Kontan, Selasa (2/7).
Jadi, lanjut Rizal, pengaruh PLTU batubara Indonesia sangat kecil secara global dibandingkan negara industri lainnya di dunia. Bahkan kita masih jauh kalah dari Jerman, Jepang, Korea Selatan dalam hal kapasitas PLTU batubaranya.
Baca Juga: Ormas Keagamaan Pengelola Tambang Tetap Wajib Bayar Kompensasi Data dan Informasi
Di satu sisi Indonesia ditekan untuk mengurangi PLTU batubara tapi pengaruhnya kecil sekali secara global, hanya 3%. Bayangkan kalau China, India, USA dan India bisa mengurangi 50% saja.
Ahli Transisi Energi yang juga Direktur Eksekutif Institute Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengungkapkan bahwa penggunaan batubara yang tinggi akan berdampak pada daya saing investasi lantaran perusahaan-perusahaan multinasional pada saat berinvetasi melihat intensitas emisi di listriknya dan apakah bisa mendapatkan energi terbarukan dengan mudah atau tidak.
"Semakin tinggi intensitas emisi gas rumah kaca, produk-produk yang diproduksi di Indonesia itu berarti memiliki carbon footprint yang tinggi," tutur Fabby.
Menurut Fabby, tidak ada sanksi jika Indonesia tetap menggunakan energi fosil akan tetapi bisa berpengaruh ke investasi dan hukuman dari pasar.
"Dari pasar yang tadi mereka tidak masuk investasi di Indonesia, mereka tidak memproduksi di Indonesia," tambahnya. Akibatnya daya saing ekonomi Indonesia turun, penyerapan tenaga kerjanya tidak optimal.
"Jadi kita menciptakan masalah sendiri. Nah ini yang saya kira perlu jadi perhatian pemerintah dan semua pihak," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News