kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penggunaan teknologi organik mendesak untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan


Kamis, 29 Agustus 2019 / 19:22 WIB
Penggunaan teknologi organik mendesak untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan
Seminar nasional dan mini expo ?Pengendalian Pirit, Wereng Batang Cokelat, dan Layu Fusarium dengan


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertanian yang ramah lingkungan menjadi salah satu primadona saat ini. Pasalnya, arus utama pembangunan pertanian saat ini dan masa mendatang adalah berkelanjutan (sustainable) yang berarti mampu bertumbuh terus, bersahabat dengan lingkungan, dan bertanggung jawab secara sosial. 

Karena itulah, dalam meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian, pemerintah dan pelaku usaha harus memperhatikan dimensi keberlanjutan. Hal itu mengemuka dalam seminar nasional dan mini expo bertema "Pengendalian Pirit, Wereng Batang Cokelat, dan Layu Fusarium dengan Teknologi Organik dan Hayati” di Jakarta, Rabu (28/8).

Baca Juga: Direktur BUMN dan pusaran korupsi

Ketua Umum Asosiasi Bio-Agroinput Indonesia (ABI) Gunawan Sutio mengatakan, pupuk atau pestisida organik atau hayati sangat dibutuhkan saat ini untuk menghasilkan pertanian yang berkelanjutan. Menurutnya di sejumlah negara, kebutuhan akan pupuk atau pestisida organik dan hayati setiap harinya mengalami peningkatan. 

"Indonesia pun harus mulai beralih, mengingat kondisi tanahnya sudah rusak, untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian harus memperhatikan dimensi keberlanjutan. Dalam pengertian mampu bertumbuh terus, ramah lingkungan, serta dapat dipertanggungjawabkan secara sosial," ujarnya seperti dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (29/8). 

Melalui aplikasi teknologi organik dan hayati, lanjut Gunawan, dapat mewujudkan pertanian yang berkelanjutan. Pertanian yang bukan hanya untuk kepentingan saat ini tetapi juga kepentingan generasi yang akan datang. Pertanian yang bisa menghasilkan produk-produk yang bebas residu sesuai dengan standar ekspor.

Aplikasi teknologi organik dan hayati merupakan salah satu upaya mewujudkan pertanian yang berkelanjutan. Pertanian yang bukan hanya untuk kepentingan saat ini tetapi juga kepentingan generasi mendatang. Pertanian yang bisa menghasilkan produk-produk bebas residu sesuai standar ekspor.

Untuk mengatasi keterbatasan lahan tanaman pangan, tahun ini pemerintah mempunyai program optimalisasi lahan rawa seluas 500.000 ha. Salah satu kendala yang dihadapi petani dalam menanam padi di lahan rawa pasang surut adalah adanya mineral pirit (FeS2).

Bila mineral ini tersingkap dan bersentuhan dengan oksigen, tanah menjadi semakin masam atau pH-nya bisa anjlok di bawah 3,5. Idealnya, padi tumbuh di lahan dengan kisaran pH 5,5-6,5. 

Ia melanjutkan, pelaku bisnis organik dan hayati belum sebanyak kimia, tetapi untuk saat ini beberapa perusahaan pestisida/pupuk sudah mulai memproduksi organik dan hayati.

"Kalau yang menjadi anggota ABI, sudah ada 11 perusahaan yang memproduksi organik/hayati. Ini tentu ke depannya semakin bertambah, seiringnya perkembangan akan konsep organik dan ramah lingkungan," ucapnya.

Baca Juga: Jangan Sampai Indonesia Jadi Negara Tujuan Sampah Plastik Negara Lain

Ibnu Multazam, Angota Komisi IV DPR menambahkan, perlu dukungan untuk mengakselerasi penggunaan pupuk organik, salah satunya melalui pemberian bantuan combine harvester untuk mengembalikan jerami ke lahan. 

Ia bilang, pemerintah perlu mereformulasi komposisi pemupukan untuk meningkatkan unsur hara tanah. Pemerintah juga harus mendorong masyarakat melakukan pemupukan berimbang sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman. 

"Selain itu, pemerintah dapat memfasilitasi, serta melakukan pendampingan dan pembinaan kepada petani untuk memproduksi pupuk organik yang baik," ucapnya.

Sementara itu, Mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih mengatakan, pertumbuhan penduduk dunia setiap tahun mengalami peningkatan. Menurutnya tahun 2019, jumlah penduduk dunia 7,7 miliar dan di 2050 bisa tembus 9,7 miliar.

"Nah peningkatan jumlah penduduk ini juga harus diiringi dengan peningkatan jumlah pangan," ucapnya.

Agar dapat memenuhi kebutuhan pangan tersebut, maka dunia harus meningkatkan produksi pangan minimal 70% atau hampir dua kali lipat dalam sisa waktu kurang lebih 30 tahun ke depan.

Ia menambahkan, agar menghasilkan produk pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, perlu pemupukan organik, hayati dan pembenah tanah maupun agri bio-input.

Menurut Bungaran, dengan tuntutan pasar yang berbeda, karakteristik konsumen akhir yang juga berbeda, teknologi dan inovasi produk yang relatif advance, dan lingkungan strategis bisnis agro bio-input yang dinamis, diperlukan pendekatan bio-enterpreneur baru juga.

Baca Juga: Pupuk Indonesia siapkan 1,32 juta ton stok pupuk subsidi jelang libur Lebaran

Bio-enterpreneur baru ini dapat menjadi dorongan baru (new big push) dalam revolusi kebangkitan pertanian organic dan hayati di Indonesia. Ini merupakan tantangan dan strategi lain yang perlu menjadi perhatian para pemangku kepentingan agro bio-input.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×