Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Azis Husaini
JAKARTA. Kebijakan relaksasi ekspor mineral tampaknya tidak berpengaruh banyak dalam meningkatkan volume ekspor sekaligus memperbesar masuknya dollar AS ke Indonesia. Pasalnya, persyaratan yang harus dilalui pemegang izin usaha pertambangan (IUP) cukup berbelit, mulai rekomendasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga persetujuan pemerintah daerah.
Hingga sekarang ini, Kementerian ESDM baru menerima sekitar 30 proposal dari izin usaha pertambangan (IUP) soal program relaksasi mineral. Padahal, jumlah IUP operasi produksi yang telah memegang sertifikat clean and clear (CnC) atawa predikat tidak bermasalah mencapai sekitar 1.900 IUP.
Dede Ida Suhendra, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM mengatakan, sejumlah 30 perusahaan yang mengajukan proposal relaksasi terdiri dari berbagai macam komoditas, seperti bauksit, nikel, bijih besi. "Mereka sudah mengajukan revisi rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB), kami juga telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk menambah produksi," kata dia, Kamis (9/10).
Sekadar mengingatkan, pada akhir Agustus silam, pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa penghapusan kuota ekspor mineral untuk meningkatkan masuknya devisa. Sebelum itu, para pemegang IUP juga disyaratkan untuk mengajukan proposal revisi RKAB terlebih dahulu ke Kementerian ESDM.
Dede mengakui, sejauh ini kebijakan relaksasi ekspor mineral tidak dapat berpengaruh banyak. Alasannya, pertama, selain harus mengantongi restu dari pemerintah pusat, perusahaan pertambangan juga mesti memperoleh persetujuan dari pemerintah daerah setempat.
Sebab, untuk dapat menggenjot produksi, tentunya akan ada perizinan lainnya, terutama yang berkaitan dengan lingkungan. "Kami hanya memberikan rekomendasi saja, kami lihat bagaimana revisinya, nanti daerah akan memberikan persetujuan lagi karena peningkatan produksi berkaitan studi kelayakan," kata Dede.
Kedua, relaksasi ini kurang direspon pengusaha karena pemerintah tetap memberlakukan pungutan bea ekspor sebesar 20%. Alhasil, pemegang IUP masih merasa terbebani karena di saat yang sama, harga mineral di pasar internasional sedang rendah.
Dede bilang, pemerintah tidak mungkin menghapuskan bea ekspor lantaran berkaitan langsung dengan penerimaan negara. "Pengusaha memang mintanya penghapusan bea keluar, namun kami tidak mau karena juga untuk mengontrol agar produksi tidak terlalu banyak," kata dia.
Harga sudah dikontrol
Hingga akhir Desember mendatang, Kementerian ESDM memproyeksikan peningkatan ekspor mineral masih dalam tahap wajar. Untuk komoditas nikel, produksinya diperkirakan mencapai 52,2 juta ton atau meningkat 27,3% dari tahun lalu.
Sementara, produksi bauksit diproyeksikan akan mencapai 51,6 juta ton, atau naik 72%. Sedangkan produksi komoditas besi mencapai 18,4 juta ton, atau naik 75,2 juta ton. "Dengan penurunan harga sekarang, perusahaan yang tidak punya komitmen jangka panjang yang banyak memanfaatkan masih bolehnya ekspor mentah," kata dia.
Sementara itu, Mag Faisal Emzita, Direktur Eksekutif Asosiasi Nikel Indonesia (ANI) mengatakan, meskipun permintaan komoditas sedang meningkat saat ini, namun hal ini tidak berpengaruh pada harga jual.
Faisal menyatakan, sekarang ini sudah banyak IUP operasi produksi yang telah diakuisisi oleh pengusaha asal China, sehingga harga jual dapat dikontrol pembeli (China). Mereka membeli dengan nilai yang sama, namun volumenya bisa meningkat dua kali lipat," kata Faisal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News