Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengusaha atau perusahaan sawit wajib melaporkan seluruh luas perkebunan hingga daftar perizinan ke portal pelaporan Siperimbun mulai 3 Juli hingga 3 Agustus 2023.
Secara khusus, pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara yang bertugas memantau proses pelaporan ini. Jika ada laporan yang menyeleweng, Satgas akan memanggil dan mengkonfirmasi data yang dinilai tidak sesuai.
Dari sisi pelaku usaha, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono menilai, upaya yang dilakukan pemerintah sangat baik.
“Dengan semua diwajibkan mendaftarkan luas lahan dan izinnya, akan menjadikan industri sawit Indonesia mempunyai data yang lebih kredibel,” kata Eddy kepada Kontan.co.id, Senin (26/6).
Baca Juga: 3,3 Juta Ha Kebun Sawit Masuk Kawasan Hutan Akan Dilegalkan, Ini Respon pelaku usaha
Lebih lanjut, Eddy menyatakan, melalui data yang baik atau tepat, maka pengambilan keputusan untuk kebijakan akan lebih tepat.
Pasalnya, selama ini terjadi tumpang tindih lahan sawit dengan kawasan hutan. Eddy mengakui, permasalahan ini menyulitkan pelaku usaha sawit karena tidak adanya jaminan berusaha.
“Satgas tata kelola industri sawit dharapkan bisa mempercepat penyelesaian masalah ini dan dapat menjadi wasit agar persoalan ini tidak terlalu membebani pelaku usaha. Pada prinsipnya pelaku usaha mau segera menyelesaikan masalah ini agar ada kepastian berusaha,” tegas Eddy.
Sebagai informasi, pelaksana Satgas Tata Kelola Industri Sawit akan bertugas menetapkan serta melaksanakan kebijakan strategis, mengambil terobsan yang diperlukan, mengambil upaya hukum, melakukan inventarisasi dan pemetaan hak negara yang berasal dari pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas pemanfaatan lahan kelapa sawit dan produktivitas inudtsri kelapa sawit.
Eddy menyampaikan PNBP sawit ini hanya dikenakan bagi pihak yang melakukan pelepasan kawasan hutan.
“Kalau bukan dari kawasan hutan tetapi dari areal penggunaan lain (APL) ya tidak perlu bayar PNBP dan memang Undang-Undangnya mengatur itu,” ujarnya.
Pada Undang-Undang Cipta Kerja Pasal 110A dan 110B pada intinya menyebut pendekatan hukum yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan tumpang tindih kebun sawit ialah ultimum remedium atau mengedepankan sanksi administratif bagi pihak yang sudah beraktivitas dalam kawasan hutan sebelum UU Ciptaker disahkan 2 November 2020.
Jadi pihak-pihak yang sudah beroperasi di kawasan hutan, akan dikenakan denda administratif yang nantinya akan menjadi PNBP.
Menurut pemaparan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terdapat 3,3 juta hektare lahan sawit yang masuk ke dalam kawasan hutan. Berdasarkan UU Ciptaker, pemerintah memiliki tenggat waktu sampai dengan 2 November 2023 untuk menyelesaikan tumpang tindih lahan tersebut.
Baca Juga: Upaya BPDPKS Mendukung Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit Petani
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News