Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pemerintah Provinsi Aceh tengah menyusun Rancangan Qanun (Raqan) atau Peraturan daerah (Perda) tentang pengelolaan pertambangan mineral dan batubara. Beberapa poin krusial Raqan tersebut dinilai akan memberatkan pengusaha tambang di Aceh terkait dengan penetapan dana kompensasi sumber daya alam untuk pemerintah Aceh dan dana pengembangan masyarakat.
Jika ada pengusaha tambang di Aceh yang menambang batubara dengan kadar kalori 5.100-6.100 maka dia harus mengeluarkan dana untuk pajak antara lain berupa royalti untuk pemerintah pusat sebesar 5% dari harga jual (ketentuan UU Minerba).
Lalu untuk dana kompensasi sumber daya alam untuk pemerintah Aceh sebesar 5% dari harga jual dan wajib melaksanakan pengembangan masyarakat dari setiap transaksi penjualan hasil produksi setiap tahun.
Sedangkan dana pengembangan masyarakat ditetapkan paling sedikit 2%. Jadi total dana yang mesti dikeluarkan sebesar 12% di luar pajak korporasi. Tentu saja bagi pengusaha sangat memberatkan.
Pengamat Pertambangan Simon F Sembiring menilai, penerapan aturan di daerah terutama berkaitan dengan keuangan, tidak bisa lebih tinggi atau melebihi apa yang sudah ditetapkan di Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah (PP).
“Perda Aceh atau Qanun itu tidak bisa melebihi angka yang sudah ditentukan di PP, misal yang sudah ditentukan royalti ditetapkan 5%, tidak bisa melebihi itu. Itu dasarnya,” kata Simon dalam keterangannya, Selasa (4/2).
Ia mengingatkan, khusus minerba, termasuk pertambangan batubara, sudah diatur dalam UU Minerba. Sedangkan terkait dengan pajak, sudah ada UU Pajak dan UU PNBP.
Jadi, setiap pungutan di daerah mengacu ke sana. “Setiap aturan di daerah, harus disetujui dulu pemerintah pusat apalagi jika menyangkut keuangan, tidak bisa angka besaran dulu tapi dari substansinya begitu,” tegas Simon.
Alhasil, jika belum diteken disetujui pemerintah pusat, maka setiap aturan di daerah yang berkaitan dengan keuangan tidak bisa dilaksanakan.
Ia menyebut, selama ini, produk turunan dari undang-undang memang selalu bermasalah misal dari sisi PP, Peraturan Menteri, hingga Peraturan Daerah.
“UU tidak pernah ada salah, selalu turunannya. Implementasi tingkat Permen, Perda. Soal yang ini juga belum tentu disetujui pemerintah pusat karena urusan pertambangan nanti akan dibahas Menteri Dalam Negeri, Menteri ESDM, juga Menteri Keuangan. Kalau belum disetujui, perda itu tentu tidak sah,” tuturnya.
Seperti diketahui, pemerintah provinsi dalam Rancangan Qanun (Raqan) Pertambangan, di pasal 62 ayat 1 menyebutkan, pemerintah Aceh menetapkan dana kompensasi atas operasi produksi sumber daya mineral logam dan batubara pada pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi.
Sementara di ayat 4 disebutkan besaran dana kompensasi atas operasi produksi sumber daya alam mineral dan batubara dibagi masing-masing: (a) Pemerintah Aceh sebesar 40% ; (b) Pemerintah Kabupaten/Kota penghasil sebesar 40% ; dan (c) Pemerintah Kabupaten/Kota bukan penghasil sebesar 20%.
Sedangkan di ayat 5 disebutkan besaran dana kompensasi untuk pemerintah Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dibagi sebesar 25% kepada kecamatan penghasil. Kemudian ayat 6 besaran dana kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat 5 diberikan dalam bentuk program/kegiatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News