Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Rencana Bank Indonesia (BI) yang akan melonggarkan aturan Loan To Value (LTV) atas kredit pemilikan rumah (KPR), sehingga uang muka atau Down Payment (DP) yang dibayarkan hanya 15 persen-20 persen dinilai tidak berpengaruh terhadap sektor properti.
Baca: Catat, Mulai Agustus 2016 DP Rumah Turun
Ketua Umum Asosiasi Pengembang perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo menyangsikan perubahan LTV tersebut bisa membantu pemulihan sektor properti, terutama perumahan.
"Kami mengharapkan LTV 90 persen untuk semua rumah, kalau hanya 85 persen untuk rumah pertama tidak akan meningkatkan penjualan rumah. Saat ini ekonomi lagi lesu dan daya beli turun, penjualan juga tiarap," ungkap Eddy kepada Kompas.com, Kamis (14/7/2016).
Hal senada dikatakan Direktur Utama PT Ciputra Surya Tbk Harun Hajadi. Menurut dia, LTV naik atau DP turun untuk rumah pertama tidak serta merta dapat mem-boost sektor properti secara signifikan.
"Ada faktor lain yang banyak itemnya dan berpengaruh," cetus Harun.
Faktor lain yang justru bisa berpengaruh sangat positif adalah pemberlakuan tax amnesty.
Kebijakan pengampunan pajak yang diprediksi terbit Oktober nanti, akan membantu masyarakat yang sudah ingin membelanjakan uangnya.
Selain itu, butuh waktu cukup lama untuk properti-properti terserap pasca-perubahan LTV. Belum lagi jika pertumbuhan ekonomi masih stagnan, maka penyerapan akan lebih lama lagi.
"Hal ini terutama terjadi pada sub sektor perkantoran," kata Harun.
Sementara untuk rumah susun atau apartemen, imbuh dia, jika harganya masih di bawah Rp 25 juta per meter persegi untuk kawasan Jakarta dan sekitarnya, perubahan LTV pasti bagus.
Tetapi, saat ini sulit sekali mencari apartmen senilai itu di Jakarta. Harga rata-rata apartemen di Jakarta sudah di atas Rp 25 juta per meter persegi yang penjualannya juga sangat lambat.
"Mudah-mudahan dengan adanya tax amnesty ini, penjualan properti secara general menjadi lebih baik," harap Harun.
"Blanket Policy"
Karena itu, menurut Harun, BI tak perlu menelurkan blanket policy yang menyulitkan. Sekarang ini perbankan, terutama swasta nasional, sudah sangat hati-hati dengan menerapkan prinsip kehati-hatian yang sangat ketat.
Seperti Bank BCA yang sejatinya sudah siap dengan segala pemetaan risikonya (risk map). Terlebih, jika di daerah tertentu harga propertinya sudah naik tinggi sekali, Bank BCA punya alert sendiri.
Mereka akan secara otomatis menolak meluluskan aplikasi KPR nasabah di daerah tersebut. Mereka tidak lagi jor-joran secara buta menyalurkan KPR.
"Jika ada tanda-tanda kredit macet atau non performing loan (NPL) naik sedikit saja, mereka langsung mengerem sendiri," sebut Harun.
Jadi, kata dia, BI jangan lagi melakukan pembatasan-pembatasan yang tidak perlu. Jika batasan LTV mau diaplikasikan ke pembelian rumah kedua dan seterusnya, dinilai jauh lebih tepat karena pesan BI untuk melokalisasi spekulasi di pasar properti akan sangat efektif.
Sebaliknya, jika membatasi pembelian rumah pertama sangat sulit dimengerti, karena kenyataannya NPL rumah pertama sangat rendah jika dibandingkan dengan NPL rumah kedua, ketiga, dan seterusnya.
Lebih baik, risiko kebijakan LTV didelegasikan ke perbankan penyalur KPR saja. Merekalah yang nantinya melakukan penilaian sendiri terhadap aplikasi KPR dan rekam jejak nasabahnya.
"Penyaluran KPR sangat tergantung pada cost of fund mereka, juga funding jangka panjang atau pendek, NPL, likuiditas, dan lain-lain," pungkas Harun. (Penulis: Hilda B Alexander)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News