Reporter: Muhammad Julian | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) mengapresiasi langkah pemerintah dalam mengimplementasikan penyesuaian harga gas bagi tujuh sektor industri.
Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru saja menerbitkan regulasi yang mengatur soal kebijakan penetapan harga gas bagi sebanyak tujuh sektor industri dan kebutuhan PLN.
Baca Juga: Kementerian Perindustrian terus pantau aktivitas industri hadapi pandemi virus corona
Beleid yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri ini menyebutkan bahwa harga gas bumi tertentu di titik serah pengguna has bumi ditetapkan sebesar US$ 6 per mmbtu bagi tujuh golongan industri, yakni pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
“Setelah sekian kita perjuangkan akhirnya pecah telor juga, ternyata sudah diteken sama Menteri ESDM,” kata Sekjen Inaplas, Fajar Budiono ketika dihubungi oleh Kontan.co.id pada Rabu (15/4).
Lebih lanjut, Fajar mengungkapkan bahwa sebelumnya pelaku industri petrokimia di sektor hulu dan tengah sempat kesulitan untuk bersaing dengan produk petrokimia impor yang masuk ke pasar lokal lantaran tertekan oleh harga gas yang tinggi.
Menurut catatan, Fajar, sebelumnya pihaknya perlu merogoh kocek lebih dari US$ 9 untuk setiap mmbtu gas yang digunakan. Sementara, biaya gas sendiri merupakan komponen dengan porsi kontribusi terbesar ketiga setelah bahan baku dan listrik dalam struktur biaya.
Baca Juga: Wabah corona berpotensi tunda proyek petrokimia dalam negeri
Namun demikian, menurut hitungan Fajar, dengan adanya penetapan harga gas industri ke level US$ 6 per mmbtu, pelaku industri petrokimia di hulu dan tengah bisa menekan beban yang terjadi akibat pemakaian utilitas alias beban utilitas sebesar 5%-10%.
Hal ini akan memberi ruang gerak bagi pelaku industri petrokimia hulu dan tengah di dalam negeri untuk bersaing dengan produk-produk petrokimia impor yang masuk ke pasar lokal. “Jadi kalau produk impornya turun harga kita bisa ikut turun, sementara kalau mereka harganya naik kita bisa pelan-pelan naiknya, kalau dulu kan enggak bisa seperti ini,” jelas Fajar (15/4).
Kendati demikian, penetapan harga gas ke level US$ 6 per mmbtu tidak serta merta menyelesaikan semua permasalahan yang ada. Menurut Fajar, saat ini pelaku industri petrokimia di sektor hulu dan tengah sedang dihadapkan pada tantangan permintaan yang lesu.
Berdasarkan perkiraan Fajar, permintaan di bulan April bisa turun hingga sekitar 30% dibandingkan April tahun lalu di tengah-tengah corona. Belum lagi, terdapat risiko serbuan produk petrokimia impor dari negara-negara yang sudah terlebih dahulu pulih dari gangguan bisnis akibat corona, terutama pada barang plastik di sektor hilir seperti peralatan rumah tangga, packaging, terpal, dan sebagainya.
Baca Juga: Siap-siap, harga produk plastik terancam naik gara-gara pelemahan rupiah
Dalam hal ini, sektor hilir yang tertekan tentunya juga akan berpotensi memengaruhi serapan produk petrokimia hulu dan tengah. Selain itu, hal ini efek gulir lainnya seperti penurunan daya beli masyarakat dan lain-lain, mengingat karakteristik industri petrokimia hilir yang memang padat karya.
Oleh karenanya, Fajar berharap pemerintah bisa mengambil langkah yang bijak dalam menyeleksi produk-produk impor yang masuk. Hal ini bukan berarti bahwa Inaplas bersifat kontra sepenuhnya terhadap importasi barang, namun Inaplas menyarankan bahwa barang-barang yang sebenarnya sudah diproduksi dan siap dipasok dari dalam negeri sebaiknya dilindungi.
Hal ini bisa dilakukan dengan cara memberlakukan hambatan tarif dan nontarif terhadap barang sejenis yang masuk ke pasar lokal. Sembari menantikan kebijakan yang demikian, pelaku industri petrokimia hulu dan tengah akan mencoba menjajal pasar ekspor seperti misalnya China sebagai antisipasi apabila penurunan permintaan terus berlanjut.
Dengan adanya strategi ini, Fajar memperkirakan bahwa porsi kontribusi ekspor dalam total output produksi bisa mencapai 10%-15% dari yang semula hanya 2,5%-5% dalam total serapan output produksi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News