Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penutupan operasional raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) dinilai sebagai imbas dari persaingan global dan biaya tenaga kerja yang tinggi di Indonesia.
Presiden Komisioner HFX International Berjangka, Sutopo Widodo menuturkan bahwa biaya tenaga kerja yang jauh lebih rendah di negara-negara seperti Vietnam, Bangladesh, dan Kamboja, membuat Indonesia tidak lebih menarik bagi produsen yang ingin mengurangi biaya.
"Tekanan persaingan yang ketat ini mendorong perusahaan-perusahaan Indonesia untuk menekan biaya produksi mereka, hal yang seringkali sulit untuk dipertahankan. Selain itu, liberalisasi perdagangan yang semakin meningkat dapat mengakibatkan banjirnya barang-barang impor yang lebih murah, yang semakin mengikis daya saing industri dalam negeri," jelas Sutopo kepada Kontan, Jumat (28/2).
Baca Juga: Gelombang PHK Sritex! Pemkab Sukoharjo Siapkan 10.965 Lowongan bagi Pekerja Terdampak
Di sisi lain, lanjutnya, kenaikan inflasi juga berkontribusi pada peningkatan biaya produksi dan upah buruh. Meski penting untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, kenaikan biaya tenaga kerja ini dapat mengakibatkan produk-produk Indonesia menjadi kurang kompetitif di pasar global.
Lalu, berbagai faktor lain seperti lonjakan harga energi, tantangan logistik, serta hambatan birokrasi, turut memperbesar biaya operasional bagi pelaku bisnis di Indonesia. Sutopo juga menyoroti masalah korupsi, proses bisnis yang terfragmentasi, dan ekonomi dengan biaya tinggi semakin menyulitkan perusahaan-perusahaan Indonesia untuk bersaing.
"Seiring dengan kemajuan teknologi, terjadi tren menuju industri yang lebih padat modal dan otomatisasi, yang pada gilirannya mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja. Pergeseran ini menyebabkan penurunan permintaan terhadap sektor manufaktur yang padat karya," imbuhnya.
Ia menuturkan, perubahan preferensi konsumen serta munculnya e-commerce juga membentuk ulang rantai pasokan global, yang dapat mengakibatkan penurunan minat pada produk-produk tradisional yang padat karya.
Menurutnya, jika daya beli masyarakat menurun, maka permintaan terhadap produk lokal juga akan berkurang. Selain itu, lingkungan regulasi yang rumit dan ketidakpastian hukum dapat menghambat masuknya investasi, baik domestik maupun asing, ke dalam sektor manufaktur.
Sutopo memberikan kesimpulan bahwa tren de-industrialisasi yang terjadi merupakan hasil dari interaksi antara faktor-faktor global dan domestik.
"Untuk mengatasi tantangan ini, Indonesia perlu meningkatkan daya saingnya dengan berinvestasi dalam teknologi dan inovasi. Selain itu, memperbaiki iklim bisnis, meningkatkan keterampilan tenaga kerja, serta menciptakan kebijakan yang mendukung pertumbuhan industri yang berkelanjutan juga sangat penting," ucapnya.
Baca Juga: Sritex Berhenti Beroperasi, Tren Deindustrialisasi Sektor Padat Karya Semakin Nyata
Selanjutnya: Gelombang PHK Sritex! Pemkab Sukoharjo Siapkan 10.965 Lowongan bagi Pekerja Terdampak
Menarik Dibaca: Ramadan Tiba, Susu Dairy Champ Berbagi Resep Menu Berbuka Puasa
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News