Reporter: Gentur Putro Jati |
JAKARTA. PT Garuda Maintenance Facilities AeroAsia (GMF) menorehkan kinerja yang kurang memuaskan tahun ini akibat lesunya kegiatan perawatan pesawat.
Karena itulah Direktur Utama GMF Rihard Budihadianto menaksir, sampai akhir tahun perseroan hanya bisa mengantongi pendapatan sekitar US$ 144 juta-US$ 150 juta dari target yang sudah ditetapkan sebesar US$ 180 juta pada 2010 ini.
Menurut Richard, memblenya kinerja anak usaha PT Garuda Indonesia (Persero) yang dipimpinnya tersebut lebih banyak karena faktor eksternal.
"Siklus krisis ekonomi 2008 baru terasa dampaknya ke bengkel perawatan pesawat pada tahun ini, setelah pada 2009 lalu menerpa maskapai penerbangan. Sehingga kami tidak bisa memenuhi target pendapatan," ujarnya, Kamis (11/11).
Ia menjelaskan siklus yang disebutnya itu sebagai berikut. Pada 2008 ketika krisis ekonomi melanda Eropa dan sebagian kawasan Asia, maskapai masih bisa mempertahankan frekuensi penerbangan karena penumpang pesawat masih memiliki uang untuk bepergian.
Kondisi berubah ketika memasuki pertengahan 2009, dimana akibat krisis tersebut banyak pelancong mengurangi porsi bepergiannya seiring kantong yang menipis.
Walhasil, banyak maskapai mulai mengurangi utilisasi pesawat yang dioperasikan. Ujungnya, bengkel perawatan pun kekurangan pekerjaan karena pesawat yang membutuhkan perawatan atau perbaikan menjadi sedikit dan kondisi tersebut terus berlanjut sampai tahun ini.
"GMF tidak hanya merawat pesawat milik Garuda Indonesia, tetapi pelanggan kami mencapai 50 maskapai penerbangan dalam maupun luar negeri. Ketika mereka terkena dampak krisis, kami juga ikut merasakannya. Namun diharapkan kuartal I 2011 semua bisa recover," jelas Richard.
Selain faktor siklus krisis ekonomi, Vice President Marketing & Sales GMF Jemsly Hutabarat menambahkan tidak tercapainya target tahun ini juga dipengaruhi oleh berkurangnya pendapatan dari Garuda Indonesia yang selama ini menyumpang sekitar 30%-40% pendapatan GMF.
"Garuda sendiri sekarang nilai perawatan pesawatnya menurun. Dengan kebijakan mengganti Boeing seri klasik menjadi Boeing 737NG memang jumlah pesawat semakin banyak pendapatan kami turun. Karena dengan mesin dan teknologi terbaru, biaya perawatan pesawat baru memang lebih murah dibanding seri klasik," kata Jemsly.
Sebagai ilustrasi, Jemsly menyebut biaya sekali perawatan C-Check untuk Airbus A320 milik PT Indonesia AirAsia yang diteken kontraknya kemarin paling hanya US$ 100.000. Sementara untuk pesawat yang usianya lebih tua bisa mencapai US$ 250.000.
"Karena itu kami menyiapkan program pemulihan penjualan dan pengembangan pasar. Program pemulihan penjualan dilakukan dengan memperbanyak pelanggan domestik," imbuhnya,
Selain AirAsia, GMF juga sudah mendapatkan kontrak dari Sriwijaya dan Travira Air serta mulai memasuki bisnis rancang bangun. Sementara untuk mengembangkan pasar, Jemsly mengaku GMF tengah menjajaki kemungkinan merawat pesawat maskapai asal Timur Tengah, Eropa dan Afrika.
Pasalnya, rencana Jeju Air dan Eastar Jet asal Korea Selatan untuk membuat kontrak dengan GMF tengah diganjal dua bengkel pesawat asal China, yaitu Aircraft Maintenance and Engineering Corporation (Ameco Beijing) dan Taikoo (Xiamen) Aircraft Engineering Company Limited (TAECO).
"Memang secara geografis penerbangan dari Korea ke bengkel mereka di China Daratan dan Hongkong bisa ditempuh dalam waktu 1-2 jam, sedangkan kalau ke Indonesia harus 7 jam. Kami sedang mengajukan tawaran bagaimana kalau avtur pulang pergi mereka kami yang tanggung asal melakukan perawatan di GMF," pungkasnya.
GMF menargetkan pendapatannya meningkat 12,5% dari US$ 160 juta pada 2009 menjadi US$ 180 juta tahun ini. Sementara pendapatan 2008 mencapai US$ 165 juta. Pada Semester I kemarin pendapatan GMF baru menyentuh 35% dari target atau US$ 63 juta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News