Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah perusahaan besar seperti PT Pertamina, PT Barito Pacific, PT Medco Energi Internasional, Sinar Mas, hingga Astra Group semakin gencar menggarap bisnis panas bumi.
Menurut sejumlah pihak yakni Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pelaku usaha, hingga ahli sepakat semakin ramainya korporasi menggarap geothermal merupakan sinyal baik bahwa industri ini menarik dan punya peluang bisnis yang besar ke depannya.
Seperti diketahui, di tahun ini sejumlah korporasi besar melakukan aksi korporasi ke pembangkit panas bumi. Ambil contoh, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan berhasil meraih dana segar Rp 9 triliun.
Perusahaan energi pelat merah ini bahkan menargetkan bisa mengoperasikan 1 GW pembangkit panas bumi dalam dua tahun ke depan.
Mengikuti jejak PGEO, perusahaan milik konglomerat Prajogo Pangestu, Barito Pacific melalui Barito Renewables Energy (BREN) juga akan menggelar hajat besar di BEI dengan melepas sebanyak-banyaknya 4,5 miliar saham atau setara 3,35% dari modal disetor dan ditempatkan setelah IPO.
Baca Juga: Konstruksi Proyek PLTP Ijen Milik Medco Energi Internasional (MEDC) Capai 40%
Harga yang ditawarkan dalam penawaran umum perdana saham ini di rentang Rp 670 sampai Rp 780. Dus, Barito Renewables Energy berpotensi meraup dana sebanyak-banyaknya Rp 3,51 triliun.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Yudo Dwinanda menjelaskan, industri geothermal saat ini dipandang menarik oleh korporasi besar karena potensinya masih terbuka lebar.
“Indonesia punya potensi 22 Gigawatt (GW) panas bumi tetapi sekarang baru dimanfaatkan 10% nya. Jadi memang masih luas, ruang terbuka,” ujarnya saat ditemui di sela acara Indonesia Energy Transition Dialogue 2023, di Jakarta, Senin (18/9).
Selain karena potensi yang besar, Yudo juga percaya diri, ketertarikan pelaku usaha juga karena adanya dukungan dari pemerintah berupa insentif pengeboran (government drilling).
Diberikannya insentif pada industri panas bumi karena eksplorasi sumur panas bumi sangat berisiko. Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, eksplorasi pengeboran tidak seluruhnya sukses. Dari 10 pengeboran kira-kira hanya 3 sumur yang ada isinya.
Baca Juga: Pemerintah Kenya Kunjungi Pertamina Geothermal (PGEO), Ini Hasilnya
“Apalagi biasanya risiko lain berada pada lokasi potensi panas bumi di lokasi terpencil (remote), katakan seperti di gunung. Jadi kalau kita lihat biaya investasinya juga lumayan tinggi,” ujarnya.
Anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) Widhyawan Prawiraatmadja menyatakan, sekarang sejumlah perusahaan mengapresiasi pengembangan energi baru terbarukan. Mereka juga mengantisipasi sejumlah aturan yang akan dijalankan salah satunya perdagangan bursa karbon.
“Kami akan melihat kaitannya dengan perusahaan geothermal ini, ternyata (perdagangan karbon) disambut dengan baik tercermin dari harga saham dari Pertamina Geothermal dan Barito naik. Jadi kalau Barito mau mengatarkan anak usahanya IPO itu masuk akal karena merespons hal itu,” jelasnya dalam kesempatan yang sama.
Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), Prijandaru Effendi menambahkan, sumber pendanaan bagi masing-masing pengembang panas bumi berbeda-beda. Ada yang melakukan IPO atau mencari partner strategis tergantung kebutuhan masing-masing perusahaan.
“Dana yang didapatkan ini tentu dapat membantu korporasi untuk menambah kapasitas terpasangnya dalam waktu dekat dan jangka panjang membiayai kegiatan eksplorasinya,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (17/9).
Dengan adanya ekspansi tersebut, Prijandaru melihat, akan terjadi penambahan kapasitas panas bumi dalam waktu dekat melalui terapan teknologi di sumur panas bumi.
Baca Juga: Catatan Pelaku Usaha Panas Bumi Jika PLN Mau Andalkan PLTP Jadi Pemikul Beban Dasar
Salah satunya dengan pemanfaatan fluida yang diolah kembali dengan memakai binary teknologi. Adapun proses pemanfaatan fluida tersebut diinjeksikan ke dalam sumur.
“Pastinya penambahan kapasitas panas bumi ini sudah ada di dalam RUPTL dan sudah mempunyai PPA dengan PLN,” jelasnya.
Setali tiga uang, Board of Director International Geothermal Association (IGA), Surya Darma menilai keikutsertaan beberapa perusahaan besar dalam industri panas bumi akan memberikan dampak yang sangat baik.
Saat ini dalam masa transisi energi menuju Net Zero Emission (NZE), panas bumi bisa menjadi tulang panggung menjaga ketahanan energi dalam pelaksanaan transisi energi.
“Jika keikutsertaan Pertamina tentu sudah tidak diragukan lagi, karena Pertamina memang menjadi pionir pengembangan panas bumi di Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, ikut sertanya perusahaan yang berbasis kelapa sawit seperti Sinar Mas dan Astra Group tentu saja menjadi pertanyaan karena usaha panas bumi yang sangat berbeda dengan bisnis perkebunan maupun otomotif.
Baca Juga: PLN Beri Bocoran Soal Tambahan 60 GW Pembangkit EBT di RUPTL Baru
Namun, keikutsertaan kedua korporasi besar itu bisa menjadi magnet bagi perusahaan lainnya.
“Bisnis panas bumi sangat beresiko dibandingkan agro industri maupun otomotif. Tetapi perlu disambut gembira agar di masa depan pengembangan panas bumi akan semakin intensif,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News