Reporter: Dimas Andi, Pratama Guitarra, Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
Saat ini, PGE menjalankan tiga proyek pengembangan listrik panas bumi. Pertama, PLTP Lumut Balai unit 2 di Sumatra Selatan dengan rencana kapasitas terpasang 55 MW. Kedua, PLTP Hululais unit 1&2 di Bengkulu dengan rencana kapasitas terpasang sebesar 2 x 55 MW.
Ketiga, PLTP Sungai Penuh unit 1 di Kerinci-Jambi, dengan rencana kapasitas terpasang sebesar 55 MW. "Selain pengembangan panas bumi, saat ini PGE juga sedang melakukan eksplorasi untuk Wilayah Kerja Seulawah Agam di Aceh dan Gunung Lawu di Jawa Tengah," ujar dia.
Tantangan panas bumi
Nilai investasi yang akan dikucurkan PGE untuk pengembangan panas bumi hingga tahun 2026 mencapai US$ 2,68 miliar atau sekitar Rp 39,12 triliun (kurs US$ 1= Rp 14.600). "Untuk meningkatkan daya saing jangka panjang sampai tahun 2026, PGE akan fokus pada strategi meningkatkan kapasitas PLTP sesuai target dan pengembangan direct use yang memiliki nilai komersial," kata Mindaryoko.
Meski dalam kondisi pandemi Covid-19, PGE tetap melaksanakan proses tender untuk memilih pelaksana EPCC total project untuk membangun PLTP Lumut Balai 2.
Sementara Daniel mengungkapkan, dari sisi teknis dan teknologi pengeboran panas bumi, Pertamina sudah bisa mengatasinya. Kendati begitu, masih ada sejumlah tantangan dalam pengembangan panas bumi.
Daniel menyoroti kebutuhan belanja modal alias capital expenditure (capex) yang masih sangat besar. Sebab, infrastruktur dasar belum disiapkan sehingga pengembang harus mengucurkan investasi terlebih dulu.
Padahal, medan pengeboran panas bumi sangat sulit sehingga pembangunan infrastruktur dasar memerlukan dana besar. "Jadi bayangkan, kami harus mengebor di kawasan pegunungan maupun di dasar lembah. Jalan ke sana saja belum ada. Kami harus memobilisasi peralatan pemboran, peralatan pembangkit listrik. Untuk itu kami harus siapkan jalan dengan kualitas yang mampu menampung beban berat," terang Daniel.