Reporter: Febrina Ratna Iskana, Muhammad Yazid | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Jatuhnya harga minyak di kisaran US$ 30 per barel nyaris mendekati ongkos operasional beberapa perusahaan minyak dan gas bumi. Bahkan, mereka terancam merugi bila harga minyak anjlok di kisaran US$ 20 per barel.
Chief Operation and Commercial Officer PT Saka Energi Indonesia Tumbur Parlindunga mengatakan, tahun lalu, break event point (BEP) produksi minyak dan gas (migas) Saka Energi sekitar US$ 25 per barel.
Adapun, tahun ini, service cost untuk drilling diproyeksi akan mengalami penurunan. Sebab, vendor perusahaan drilling sudah bersedia menurunkan biaya drilling ke Saka Energi sebesar 20%-30% per barel dibandingkan dengan biaya tahun lalu.
Oleh sebab itu, Saka optimistis masih bisa mendapatkan keuntungan. Dengan penurunan biaya drilling, "BEP production minyak di kisaran US$ 20 per barel sampai US$ 23 per barel," ujar Tumbur ke KONTAN, Minggu (24/1).
Apalagi, selain ada penurunan biaya drilling, di internal, Saka Energi sejak tahun telah melakukan efesiensi seperti mengurangi jam kerja karyawan sehingga tidak ada lagi karyawan lembur.
Alhasil, aktivitas karyawan berkurang dan otomatis mengurangi pemakaian listrik. Dengan efisiensi, kata Tumbur, Saka Energy bisa menekan biaya produksi hingga mencapai US$ 14-US$ 15 per barel. "Kami produksi 50% minyak dan 50% untuk gas," ungkap dia.
Vice President Corporate Communication PT Pertamina Wianda Pusponegoro menyatakan, dengan harga minyak yang rendah, Pertamina akan lebih selektif dalam memilih proyek. Perusahaan pelat merah ini juga fokus ke proyek yang memberikan untung cepat dan melakukan renegosiasi semua kontrak dengan perusahaan penunjang hulu migas.
Pertamina juga akan terus melakukan produksi dengan meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya produksi di hulu hingga mencapai 30%. Maklum biaya produksi minyak tidak murah, terutama untuk proyek yang di lepas pantai alias offshrore. Biaya produksi lepas pantai lebih mahal lantaran lebih komplek ketimbang di darat.
Direktur Utama PT Pertamina Dwi Soetjipto mengakui, penurunan harga jual minyak saat ini sudah meleset lebih dari 40% dari asumsi awal Pertamina yakni kisaran US$ 50 per barel. Karena itu, Pertamina terus berupaya melakukan efesiensi dan menekan ongkos produksi.
"Rata-rata ongkos produksi kami sekitar US$ 20–US$ 24 dolar per barel AS untuk memproduksi minyak mentah di upstream (hulu), dan sekarang kan harga minyak sudah di US$ 27 per barel," ujarnya. Bahkan di Blok West Madura Offshore (WMO) dan Blok Offshore Northwest Java (ONWJ) biaya produksinya sudah di atas harga minyak.
Vice President Public and Government Affairs ExxonMobil, Erwin Maryoto enggan membeberkan besaran biaya produksi serta BEP pada produksi Mobil Cepu Limited. "Kami tidak dapat memberikan komentar mengenai aspek komersial dan operasi kami secara terperinci," ujarnya.
Yang pasti, Mobil Cepu Limited tidak akan mengurangi karyawan lantaran harga minyak yang dalam tren anjlok. "Kami tetap produksi minyak sesuai target produksi yang sudah ditetapkan," kata dia. Target Mobile Cepu yakni sekitar 160.000 bph.
Adapun Chevron, kata Yanto Sianipar, Senior Vice President, Policy, Government and Public Affairs Chevron, perusahaan memilih akan menyesuaikan struktur dan ukuran organisasi. Sayang, Yanto tak menyebut upaya tersebut termasuk merumahkan karyawan atau tidak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News