Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perubahan keenam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba) belum disahkan.
Hingga kini, aturan soal perizinan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan perubahan statusnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) masih menunggu lampu hijau dari Sekretariat Negara (Setneg).
“Sudah selesai harmonisasi. Insha Allah, tinggal tunggu Setneg,” ujar Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM Hufron Asrofi kepada Kontan.co.id, Minggu (16/12).
Terbitnya revisi ini sangat ditunggu oleh PKP2B yang akan habis masa kontraknya. Sebab, dalam draft perubahan PP ini, salah satu poinnya mengatur soal masa pengajuan perpanjangan izin.
Isinya menjadi lebih longgar, dari yang semula paling cepat dua tahun dan paling lambat enam bulan sebelum kontrak berakhir, lantas menjadi paling cepat lima tahun dan paling lambat satu tahun sebelum kontrak PKP2B berakhir.
Sehingga, jika dalam peraturan lama PKP2B yang habis kontrak pada tahun 2022 baru bisa mengajukan perpanjangan pada tahun 2020.
Maka jika revisi ini telah terbit dan mengakomodasi usulan draft tersebut, maka PKP2B yang bersangkutan bisa lebih cepat dalam mengajukan perpanjangan.
Adapun, PT Tanito Harum menjadi PKP2B generasi pertama yang paling dekat habis masa kontrak, yakni pada 14 Januari 2019. Kemudian, disusul dengan PT Arutmin Indonesia yang kontraknya akan berakhir pada 1 November 2020, PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025).
Hingga kini, baru PT Tanito Harum yang secara jelas telah mengajukan perpanjangan kontrak. Sampai tulisan ini dibuat, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menjawab pertanyaan Kontan.co.id perihal hasil dari pengajuan perpanjangan kontrak PT Tanito Harum dan apakah sudah ada PKP2B lain yang sudah mengajukan permohonan serupa.
Yang jelas, saat dihubungi Kontan.co.id, Dileep Srivastava, Direktur dan Sekretaris Perusahaan Bumi Resources yang merupakan induk dari PT Arutmin dan PT KPC, mengungkapkan bahwa pihaknya menunggu keputusan pemerintah tentang konversi status dari PKP2B menjadi IUPK. Dileep pun menilai karena peraturannya belum terbit, maka terlalu dini untuk memberikan komentar mengenai hal ini.
Namun, ia tetap berkomitmen untuk mengikuti peraturan yang berlaku. “Kami menunggu keputusan pemerintah tentang konversi ke IUPK. Masih terlalu dini untuk berspekulasi saat ini,” ungkapnya.
Sementara itu, karena masa kontrak yang akan berakhir pada 1 November 2020, CEO PT Arutmin Indonesia Ido Hubarat mengatakan, dengan merujuk pada peraturan yang berlaku saat ini pun, Arutmin sudah berhak untuk mengajukan perpanjangan. Saat ini, lanjut Ido, pihaknya akan mengajukan perpanjangan dengan mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan.
“Kita dua tahun bisa apply, kita lagi mau apply. Nanti, kita lagi mempersiapkan dokumen-dokumennya,” ungkap Ido.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menegaskan bahwa adanya revisi PP ini sangat penting bagi pelaku usaha batubara. Sebab, para pengusaha batubara ini membutuhkan dasar hukum dan kepastian operasi serta investasi jangka panjang.
Sebelumnya, Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan bahwa revisi keenam PP No. 23 tahun 2010 atau peraturan mengenai perubahan status dari PKP2B menjadi IUPK tersebut akan diiringi dengan terbitnya PP tentang penerimaan negara dari sektor usaha pertambangan batubara. Kedua atuaran itu akan terbit sebagai satu paket kebijakan.
Adapun, menurut Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Rofianto Kurniawan, pihaknya berupaya untuk menyelesaikan rancangan PP tersebut tahun ini, supaya pada tahun 2019 sudah bisa diberlakukan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News