Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Perpres tentang percepatan swasembada gula yang akan dicanangkan pemerintah menuai polemik. Hal ini lantaran Perpres tersebut tersebut berpotensi menjadi ajang monopoli bagi BUMN.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) Soemitro Samadikoen pun secara tegas menolak rencana Perpres tersebut. Menurutnya, pencanangan swasembada gula di 2025 hanya omong kosong dan tak masuk akal.
Salah satu poin dalam Perpres tersebut, pemerintah akan memberi fasilitasi bagi BUMN untuk melakukan impor gula. Menurut Soemitro, swasembada gula sebenarnya sudah berkali-kali dicanangkan sejak masa Presiden SBY. Dimulai tahun 2008, kemudian berlanjut 2013. Target swasembada gula selalu meleset. Di era pemerintahan Jokowi, target swasembada gula juga selalu meleset saat ditargetkan di tahun 2019 dan di tahun 2022.
“Dan ini ada pencanangan swasembada lagi di tahun 2025. Itu omong kosong dan hanya akal-akalan. Aneh, swasembada, tapi ujung-ujungnya impor,” kata soemitro dalam keterangannya, Kamis (29/9).
Baca Juga: Indonesia Dorong Kesetaraan dalam Sertifikasi Pengelolaan Hutan
Soemitro menilai program swasembada tidak pernah tercapai karena pemerintah tidak pernah serius menjalankan program swasembada. Dalam ketentuannya, semua perusahaan (BUMN atau Swasta) yang membangun pabrik gula baru (produksi gula konsumsi) diwajibkan untuk menanam tebu. Sebagai kompensasi mereka mendapat kuota impor raw sugar (gula mentah) selama 5 tahun sebagai bahan baku.
“Semenjak SBY sampai Jokowi juga terus begitu. Dan anehnya, selama ini tidak pernah ada sanksi tegas bagi yang mendapat izin impor tapi tidak mau menanam tebu,”tandasnya.
Lebih lanjut, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) M. Nur Khabsyin mengatakan bahwa program swasembada gula yang dicanangkan pemerintah sebenarnya dihambat sendiri oleh kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani. Sebagai contoh adalah kebijakan Harga Pokok Pembelian (HPP) gula petani yang tak pernah naik antara tahun 2016 sampai 2022.
“Sejak beberapa tahun terakhir, HPP tak pernah beranjak dari angka Rp 9.100 per kg. Baru awal giling tahun ini HPP dinaikkan menjadi Rp 11.500 per kg. Meski naik, sebenarnya HPP tersebut juga belum bisa menutup biaya pokok produksi (BPP) yang sudah melebih Rp 12.000 per kg,” ujarnya.
Selain itu, ada pula kebijakan HET (harga eceran tertinggi) gula sebesar Rp 12.500/kg sejak tahun 2016 - 2022 sangat membelenggu petani walaupun awal musim giling tahun ini naik menjadi Rp 13.500. Seharusnya, pemerintah tak perlu mengatur harga jual gula karena gula bukan milik pemerintah sebagaimana halnya BBM. Pemerintah cukup menetapkan HPP gula saja.
“Selain itu ada pula kebijakan pencabutan subsidi pupuk yang menyebabkan pupuk langka dan harganya naik 300%-500%, ini membuat BPP semakin meningkat,”ujarnya.
Termasuk juga yang menghambat swasembada gula adalah setiap kali memasuki musim giling digerojok impor gula konsumsi dan bocornya gula rafinasi di pasar sehingga harga gula petani jatuh. Hal tersebut dinilai menyebabkan petani merugi dan tidak semangat untuk memperluas tanaman tebu.
Baca Juga: Rapat Umum AB2TI dan Rembug Tani Nasional Tetapkan Dwi Andreas Santosa Sebagai Ketum
Menurut Khabsyin, pemerintah sebenarnya tak perlu terbitkan Perpres percepatan swasembada. Karena program sebelumnya sudah bagus dan sudah ada roadmap-nya. Yang perlu dilakukan sebenarnya hanya menagih janji bagi perusahaan yang mendapat izin impor untuk melaksanakan kewajibannya menanam tebu.
“Saya menilai Perpres ini alat memburu rente saja dan hanya menguntungkan PTPN III yang akan memonopoli kuota impor. Janji untuk perluasan lahan 700 ribu hektar hanya omong kosong. PTPN III punya lahan dari mana, mimpi kali? Padahal selama ini kinerjanya buruk banyak pabrik gula miliknya tutup akibat kekurangan bahan baku,” ujar Khabsyin.
Karena lahan seluas 153 ribu hektar yang diklaim milik PTPN III yang ada saat ini, sebagian besar diantaranya adalah milik petani. Yang murni miliki PTPN III hanya sekitar 50 ribu hektar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News