Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Peternak ayam kembali merugi akibat anjloknya harga telur di tingkat peternak. Permasalahan ini bukanlah kali pertama dialami para peternak. Sekitar bulan Maret 2017 lalu, kondisi serupa juga telah menimpa para peternak ayam, baik ayam petelur maupun pedaging.
Berdasarkan data Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia, harga telur per 3 Juli 2017 di sejumlah sentra peternakan layer di Indonesia, rata-rata Rp 15.000 - Rp 17.000 per kg.
Harga telur di tingkat peternak tersebut di bawah harga acuan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) no. 27 tahun 2017, yakni Rp 18.000 per kilogram (kg). Koordinator Forum Peternak Layer Nasional (PLN), Ki Musbar mengatakan penurunan harga telur di beberapa sentra produsen layer terjadi sejak awal Juni 2017.
"Di Blitar sendiri harganya sudah mulai naik di kisaran Rp 16.000 Rp 17.000 per kilo, tapi belum merata," tutur Musbar. Sebelumnya, harga telur di Blitar sempat anjlok di kisaran Rp 14.000 per kg. Padahal, Blitar memberikan kontribusi 40% terhadap produksi telur nasional.
Menurut Musbar, harga acuan Rp 18.000 per kg yang diatur dalam Permendag tersebut memiliki banyak kelemahan, terutama karena tidak menyebut area atau wilayah penetapan harga. Harga di semua area di Indonesia dipukul rata. Padahal sentra produksi layer terkonsentrasi di beberapa titik, seperti Jawa Timur (Blitar), Jawa Tengah, Banten (Tangerang), Jawa Barat (Cianjur, Sukabumi), Sumatera Selatan dan Sumatera Barat (Medan).
"Nah, kelemahan harga acuan ini ada di persebaran telur itu. Sekarang 60% penjualan dari produksi nasional diserapnya di Jabodetabek dan Jawa Barat. Paling tinggi ada di sana, karena jumlah konsentrasi penduduk dan bisnis kuliner paling banyak di daerah itu," ungkapnya pada KONTAN, Rabu (5/7).
Adanya konsentrasi penyerapan produksi tersebut membuat para peternak di luar wilayah Jabodetabek dan Jabar harus menghitung biaya transportasi untuk distribusi. Musbar bilang, ongkos transportasi bisa mencapai Rp 50 - Rp 70 per butir telur. "Kalau penyerapannya terus terkonsentrasi, peternak layer bisa rugi karena ongkos transportasi," ujarnya.
Anjloknya harga juga dikeluhkan oleh peternak broiler. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Organisasi Peternak Ayan Nasional (Gopan), Sugeng Wahyudi mengatakan, saat ini harga daging ayam tingkat peternak di beberapa wilayah hanya di kisaran Rp 15.000 - Rp 15.500 per kg. "Waktu lebaran kemarin harganya sempat bagus, sampai Rp 20.000 per kilo. Sekarang malah turun drastis," tuturnya.
Sugeng memperkirakan drastisnya penurunan harga daging ayam tersebut disebabkan menurunnya permintaan masyarakat dan adanya pengurangan Parent Stock (PS) ayam. "Pas lebaran permintaan memang banyak. Tapi sekarang sudah mulai berkurang sedangkan produksinya masih terus lanjut," katanya.
Harga acuan daging ayam juga diatur dalam Permendag no. 27 tahun 2017. Harga acuannya sama dengan harga acuan telur ayam, yakni Rp 18.000 per kg.
Pasokan dan Harga Jagung Masih Fluktuatif
Tak hanya harga acuan dan konsentrasi penyerapan produksi yang saat ini tengah dikeluhkan para peternak. Pasokan dan harga jagung yang fluktuatif kerap membuat mereka tidak tenang. Padahal berdasarkan Permendag no. 63 tahun 2016, Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk jagung dengan kadar air 15% dipatok Rp 3.150 per kg.
Namun, Musbar mengatakan, kenyataan di lapangan tidak demikian. Harga jagung untuk pakan ternak di wilayah pulau Jawa, khususnya Jabodetabek, kini di kisaran Rp 4.200 hingga Rp 4.700 per kg. Bagi peternak, harga jagung punya peranan sangat penting. Pasalnya, pemakaian jagung memakan sekitar 50% biaya produksi.
“Kalau dengan harga beli jagung Rp 3.250 per kilo, harga acuan telur bisa Rp 17.450 per kilo. Itu sudah pas. Jadi harusnya setiap kenaikan harga jagung Rp 500 per kilo, harusnya juga diimbangi dengan naiknya harga telur sekitar Rp 800 - Rp 1.000 per kilo, terang Musbar. Menurutnya, jika saat ini harga jagung rata-rata Rp 4.500 per kg, maka harga telur idealnya Rp 19.000 per kg.
Maka, Musbar berpendapat penetapan harga acuan, idealnya juga harus melihat apakah sentra peternakan dekat dengan sentra jagung. Sekali lagi, mahalnya harga jagung bisa membuat biaya produksi membengkak.
"Jadi harus dilihat dari harga jagung lokal yang diterima oleh peternak di sentra-sentra produksi layer. Kalau yang makin dekat dengan sentra jagung, harganya murah. Kalau yang yang jauh harus ada biaya transportasi untuk jagungnya, belum lagi transportasi pengiriman ke jabodetabek. Semua ditanggung peternak, kami yang susah," tuturnya.
Di sisi lain, Sugeng mengatakan para peternak broiler juga mengeluhkan soal sulitnya memperoleh jagung untuk pakan ternak. "Sampai saat ini masih sulit, kalaupun ada, harganya mahal. Jadi kadang kami terpaksa mencampur dengan raw material lain," ujarnya.
Akibatnya, kondisi tersebut mengganggu budidaya broiler dan biaya produksi ikut membengkak. "Misalnya begini, kalau biasanya untuk memproduksi ayam seberat 1 kilogram dengan pakan jagung, kami butuh 1,5 kilogram. Nah, karena sekarang jagung susah dan harus dicampur, maka kami butuh sekitar 1,6 kilogram pakan. Waktunya juga bisa lebih lama," terangnya.
Kebutuhan paka yang lebih banyak dan waktu yang lebih lama itulah yang membuat biaya produksi membengkak. "Pertumbuhan ayamnya telat. Istilahnya feed conversion rate (FCR) juga ikut membengkak," katanya pada KONTAN, Rabu (5/7).
Ia berharap, pemerintah bisa membuka kembali keran impor jagung untuk sementara waktu. "Khusus untuk pakan ternak sajalah. Karena memang kenyataannya, produksi jagung kita belum cukup. Kalaupun ada stoknya, pasti sudah diambil lebih dulu sama industri pakan besar," pungkasnya.
Nasib Peternak Ayam Apes Lagi Gara-gara Harga Acuan dan Jagung
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News