kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

PHRI: Sejak pelonggaran PSBB hingga Juli, okupansi hotel di Jakarta sekitar 10%-20%


Jumat, 21 Agustus 2020 / 22:20 WIB
PHRI: Sejak pelonggaran PSBB hingga Juli, okupansi hotel di Jakarta sekitar 10%-20%


Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan okupansi hotel skala nasional per Juli 2020 masih berada di kisaran 20%. Wakil Ketua PHRI, Maulana Yusran mengemukakan angka tersebut merupakan jumlah dari jumlah kamar yang tidak semuanya dibuka serta perbedaan di tiap daerah.

"Jadi, harus diingat bahwa tingkat okupansi sebesar 20% itu tidak termasuk kamar yang ditutup, kalau dimasukkan juga jumlah kamar yang tidak dioperasikan maka nilainya makin drop," jelasnya kepada Kontan, Jumat (21/8).

Baca Juga: Ruang meeting hotel dibuka lagi, HRME: Kontribusi MICE mencapai lebih dari 40%

Sementara itu, di kawasan DKI Jakarta tingkat okupansi juga masih berada di kisaran 10% sampai 20% sejak masa pelonggaran PSBB hingga hari ini.

Maulana Yusran berkata, walau ada kenaikan setidaknya 5% per bulan, hal ini masih diikuti dengan perolehan okupansi yang tidak stabil. Dia mencontohkan, satu hotel bisa meraup okupansi tinggi mencapai 40% pada akhir pekan dengan kamar terbatas, lalu pada hari kerja, angka tersebut bisa jatuh sampai single digit.

Salah satu penyebab ketidakstabilan angka okupansi ini adalah masih adanya kekhawatiran masyarakat akan COVID-19. Sementara untuk kasus DKI Jakarta, sebagai kota bisnis, pemberlakuan PSBB dan WFH berkontribusi membuat okupansi kamar dan kegiatan korporasi dan pemerintahan seperti meeting dan workshop di hotel menurun drastis.

Maulana juga berkata, hampir sama dengan Bali, suplai kamar hotel di DKI Jakarta sangat melimpah namun tidak disertai dengan demand yang setara. Masyarakat masih bersikap wait and see untuk melakukan travel dan kegiatan, walau saat ini pergerakan sudah mulai bergerak lagi.

"Mau tak mau, hotel akhirnya banting harga sehingga okupansi 15% pun mungkin didapatkan dari segmen market lain. Untuk mendapatkan okupansi, hotel bintang 5 sampai bintang 3 banting harga, nah kalau begini masyarakat akan lebih memilih bintang 5 dengan harga bintang 3, tapi ini dibayar dengan harga kamar yang rendah dan jumlah kamar yang tidak dioperasikan maksimal. Maka hati-hati berbicara okupansi," jelasnya.

Baca Juga: Soal standar protokol kesehatan di bioskop, begini penjelasan GPBSI

Mengenai tren staycation yang sedang naik daun, Maulana juga memiliki pendapat yang sama. Fenomena staycation dan berlibur di masa long weekend beberapa waktu terakhir ini, bisa meningkatkan okupansi bagi hotel tapi disertai dengan kejatuhan harga dan ketidakstabilan tinggi.

"Tetapi memang dari sisi konsumen, sekaranglah saat yang tepat untuk berlibur sebab semua hotel bisa dipastikan saat ini membanting harganya dan mengeluarkan berbagai promo," tutup dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×