kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

PLN disebut meminta penurunan harga batubara, begini usulan Kementerian ESDM


Senin, 22 Maret 2021 / 20:28 WIB
PLN disebut meminta penurunan harga batubara, begini usulan Kementerian ESDM
ILUSTRASI. Suasana aktivitas bongkar muat batu bara dari kapal tongkang ke mesin pembangkit di Kompleks PLTU Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Widodo S Jusuf/foc.


Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara dikabarkan meminta pemenuhan volume Domestic Market Obligation (DMO) batubara dan penurunan harga untuk pembangkit listrik. Saat ini, harga batubara yang dikenakan untuk pembangkit listrik ditetapkan sebesar US$ 70 per metrik ton (MT) Free On Board Vessel sesuai Kepmen ESDM Nomor 255.K/30/MEM/2020. 

Permintaan PLN ini menjadi bagian diskusi dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Senin (22/3).

Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Demokrat Muhammad Nasir mengungkapkan pemenuhan Domestic Market Obligation (DMO) oleh perusahaan batubara tidak memenuhi target. Hal ini juga kemudian berdampak pada pemenuhan kebutuhan untuk kelistrikan PLN. "Kewalahan sekarang PLN, stok pembangkit cuma 3 hari," ujar Nasir, Senin (22/3).

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan pada tahun 2020 lalu DMO ditargetkan mencapai 155 juta ton dimana realisasinya hanya mencapai 132 juta ton. Adapun dari besaran tersebut sebanyak 105 juta ton digunakan untuk kebutuhan pembangkit dalam negeri.

Baca Juga: KLHK memprediksi Juklak dan Juknis FABA PLTU akan terbit pada April 2021

Kendati demikian, Arifin menilai serapan batubara untuk pembangkit listrik pada tahun lalu sendiri tidak mencapai target yang dicanangkan. 

Merujuk data Kementerian ESDM, dari target 109 juta ton untuk kebutuhan kelistrikan sepanjang tahun 2020 maka realisasinya hanya mencapai 96% atau setara 104,8 juta ton. Dari besaran tersebut, kebutuhan PLN mencapai 65 juta ton dan Independent Power Producer (IPP) sebanyak 39,8 juta ton.

"Dari DMO sudah jelas bisa dilihat dari grafik dari bahan persentase penyerapan tidak sampai segitu. penyerapan dalam negeri untuk PLN dan IPP juga," jelas Arifin.

Arifin menambahkan, menjelang akhir tahun 2020 umumnya pemerintah memastikan agar kondisi stok batubara dalam kondisi cukup. Pasalnya, biasanya diakhir tahun akan memasuki musim angin barat serta curah hujan yang tinggi sehingga dibutuhkan pasoka batubara yang cukup. Arifin menegaskan, pihaknya perlu mendengarkan langsung dari penjelasan dari PLN terkait kondisi yang diungkapkan. 

Arifin melanjutkan, demi memenuhi kebutuhan batubara untuk pembangkit maka Kementerian ESDM memberikan sejumlah usulan antara lain, pemberlakuan kontrak jangka panjang untuk pengadaan batubara, bukan melalui skema spot, kemudian pemenuhan pasokan batubara langsung dari perusahaan tambang serta penataan inventory (stock) di PLN dan pendataan spesifikasi (kualitas) pasokan batubara sesuai dengan design (spesifikasi) PLTU.

"Juga perbaikan infrastruktur dan logistik pasokan batubara antara lain melalui coal blending facility, Jetty PLTU dan angkutan barge atau vessel," tegas Arifin.

Arifin mengungkapkan harga jual batubara yang ditetapkan untuk Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum sebesar US$ 70 per metrik ton Free On Board Vessel sesuai Kepmen ESDM Nomor 255.K/30/MEM/2020. "Selama tahun 2020 harga batubara relatif lebih rendah dari harga US$ 70 sehingga tidak ada penghematan biaya," lanjut Arifin

Arifin mengungkapkan kondisi ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di tahun 2018 dimana saat harga rerata jual batubara sebesar US$ 99 per MT, PLN bisa melakukan penghematan biaya mencapai Rp 17,9 triliun.

Sementara itu, pada 2019 dengan harga jual rerata sebesar US$ 77,9 per MT, PLN melakukan penghematan biaya mencapai  Rp 11 triliun. Arifin mengungkapkan saat ini harga batubara telah mulai pulih di atas US$ 70 per MT sehingga diharapkan dapat memberikan dampak penghematan yang lebih baik lagi.

Arifin melanjutkan, apabila harga jual batubara untuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum ditetapkan lebih rendah dari HBA US$ 70 per metrik ton maka ada sejumlah dampak yang mungkin timbul.

"Maka akan meningkatkan disparitas harga ekspor dan domestik yang berpotensi mengakibatkan kecenderungan penjualan ekspor atas produksi batubara dan menimbulkan kelangkaan batubara dalam negeri," pungkas Arifin.

Permintaan penurunan harga batubara untuk pembangkit listrik ini juga menuai penolakan dari sejumlah anggota DPR RI pasalnya dinilai bakal bertentangan dengan rencana mendorong transisi energi serta  dampak pada subsidi negara.

Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar Dyah Roro Esti menjelaskan jika harga diturunkan maka akan meningkatkan nilai kompetitif pembangkit batubara dibandingkan pembangkit lainnya. "Kita tidak perlu turunkan karena dari berbagai sisi pandangan transisi energi tentu ini tingkatkan kompetitifnya pembangkit batubara dibanding sumber energi lain," kata Dyah.

Dyah mengingatkan pula komitmen yang telah ditandatangani pemerintah dalam Paris Agreement guna mencapai target bauran 23% Energi Baru Terbarukan (EBT) pada 2025 mendatang.

Sementara itu, Anggota Komisi VII dari Fraksi Gerindra Kardaya Warnika menilai penurunan harga bermula dari permasalahan stok yang dialami PLN. "Permasalahan ini timbul karena stok, kekurangan stok, harga batubara naik. masalah ini harusnya bisa diantisipasi PLN apalagi punya PLN batubara," jelas Kardaya.

Ia menambahkan jika harga batubara diturunkan maka bukan tidak mungkin bakal berdampak pada pemberian subsidi yang bisa saja dikenakan. Kardaya menilai penggunaan subsidi erat kaitannya dengan APBN sehingga bukan hal mudah untuk diimplementasikan.

Selanjutnya: Harga batubara tertekan tahun lalu, ini dampaknya bagi penghematan yang dilakukan PLN

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×