Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih membutuhkan aliran listrik dari Marine Vessel Power Plant (MVPP). Kapal pembangkit tersebut diperlukan guna mencukupi daya di sejumlah daerah karena pembangkit listrik permanen yang belum siap.
Direktur Bisnis Regional Jawa bagian Timur, Bali dan Nusa Tenggara Djoko Rahardjo Abumanan menyampaikan, hingga saat ini setidaknya PLN masih membutuhkan MVPP di empat wilayah. Yakni di Medan, Ambon, Kupang dan di Amurang, Sulawesi Utara (Sulut).
Djoko mengungkapkan, MVPP yang diperlukan memiliki kapasitas yang berbeda di setiap wilayahnya. "Itu tergantung lokasi, tergantung sistem dan juga kebutuhannya," kata Djoko saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (6/5).
Dia menerangkan, kapasitas MVPP paling besar berada di Medan, Sumatera Utara dengan kapasitas 240 Megawatt (MW). Selanjutnya MVPP Amurang di Sulut berkapasitas 120 MW, MVPP Kupang, Nusa Tenggara Timur dengan 60 MW, dan MVPP Ambon berkapasiats 60 MW.
Ia menuturkan, dalam mengoperasikan MVPP tersebut PLN berkontrak selama lima tahun dengan PT Karpowership Indonesia atau Karadeniz Powership, asal Turki. Pengoperasiannya berlangsung sejak tahun 2016 hingga tahun 2021.
Ia menjelaskan, kontrak itu dijalankan berdasarkan tender. MVPP yang dikontrak tersebut merupakan satu paket dan awalnya berjumlah lima unit.
Namun, karena terjadi keterlambatan dan di Lombok-Nusa Tenggara Timur sistem dan jaringan listrik telah pulih, maka satu MVPP itu dibatalkan. "Itu lelangnya kan satu paket, yang menang Karpowership. Tapi yang di Lombok batal karena terlambat, sistem di sana sudah cukup," jelasnya.
Djoko menegaskan, aliran setrum dari MVPP masih diperlukan selagi listrik dari pembangkit belum mengalir ke sistem PLN. Seperti di Kupang, misalnya, Djoko mengungkapkan MVPP masih dipakai sembari menunggu beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMg) berkapasitas 40 MW dan dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Kupang dengan kapasitas 2 x 50 MW.
Sehingga, Djoko memastikan bahwa penggunaan MVPP hanya lah sementara. Terlebih, sambung Djoko, MVPP diperlukan mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan dan kapal pembangkit ini bisa menjadi solusi alternatif karena bisa bergerak secara mobile.
"Misalnya di Sumatera. Kalau di Selatan, itu bisa karena batubara banyak di sana (bisa menggunakan PLTU). Tapi kalau yang utara? Nah, MVPP kan bisa bergerak, begitu juga untuk sejumlah kepulauan lainnya. Dan ingat, Ini kan interim, sementara saja," tegasnya.
Hal senada juga dikemukakan oleh Direktur Bisnis Regional Sulawesi PLN Syamsul Huda. Bahkan menurutnya, jika saat ini keberadaan MVPP ditarik dari sistem PLN, maka sistem kelistrika di Sulawesi Utara dan Gorontola akan defisit, lalu terjadi pemadaman.
Apalagi saat mulai berkontrak, kata Huda, sistem kelistrikan di Sulawesi Utara membutuhkan daya yang besar dengan waktu yang cepat. "Itu lah kenapa keberadaannya (MVPP) sampai saat ini masih dibutuhkan. Selain masa kontraknya masih awasl tahun 2021," kata Huda.
Huda juga mengatakan, pada saat kontrak MVPP berakhir pada tahun 2021, saat itu juga pembangkit dan transmisi kelistrikan PLN sudah siap beroperasi. "Jadi setelah pembangkit masuk, kontrak berakhir. Nanti kan ada PLTB Jeneponto dan PLTU di Sulbar yang masuk, sesuai RUPTL," jelasnya.
Huda pun bilang, saat ini pihaknya tengah berfokus supaya dapat menyeimbangkan antara supply dan demand sembari menjaga reserve margin supaya bisa leih dari 30%. Apalagi, dalam beberapa tahun ini Sulawesi memiliki potensi pasar kira-kira 4.000 MW seiring dengan pembangunan smelter yang marak diwilayah tersebut.
Adapun, dari tiga sistem besar yang ada di Sulawesi, baru sistem Sulawesi bagian Selatan yang reserve margin-nya sudah 40%. Sedangkan Sulawesi Utara masih sekitar 20%, begitu pun dengan Sulawesi bagian Tengggara.
Huda mengungkapkan, perbandingan antara sistem Sulawesi bagian Selatan dengan Tenggara dalah 1:16. "Jadi daya mampu di Sulawesi bagian selatan itu 1.600 MW, di bagian tenggara itu 100 MW. Kalau di bagian Utara itu sekiatr 420 MW," terangnya.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, baik Djoko maupun Huda menyakini, hingga saat ini penggunaan MVPP masih tetap diperlukan. Meski tak menyebutkan detail perhitungan kontrak dan biayanya, namun keduanya mengatakan sekarang ini MVPP masih terbilang efisien. "Itu kan sudah melalui kajian kelayakan proyek yang meliputi kelayakan operasi, finansial dan resiko yang sudah diperhitungkan," kata Huda.
Lebih lanjut, Djoko menyampaikan bahwa MVPP ini bisa menggunakan ragam pilihan bahan bakar. Seperti Heavy Fuel Oil (HFO), High Speed Diesel (HSD) maupun gas. "Jadi tergantung harga, kemarin harga minyak US$ 40, terus sekarang naik US$ 60, jadi kita konversi ke gas," terangnya.
Ia pun bilang, penilaian efisiensi dari MVPP ini juga realtif, tergantung pada lokasi. "Mahal murahnya tergantung. Kalau di Jawa kemahalan, tapi kalau di daerah yang belum ada listrik ya diperlukan. Apalagi ini kan cepat, nggak perlu nyiapin lahan," jelasnya.
Dalam hal ini pun Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengingatkan bahwa MVPP adalah solusi sementara jangka pendek untuk mengatasi defisit listrik di sejumlah wilayah yang masih terjadi pada periode tahun 2015.
Sehingga, Fabby meminta supaya PLN harus segera bisa berlalih, dan konsisten dengan rencana pengoperasian pembangkit sebagai sumber energi setempat. "MVPP listriknya mahal karena membakar BBM. Rencananya kan hanya 5 tahun, seharusnya MVPP dalam waktu dekat tidak diperlukan lagi," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News