Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025 kian berat. Hingga semester I-2025, porsi pembangkit EBT baru mencapai 14,5% atau setara 15,2 gigawatt (GW) dari total kapasitas pembangkit nasional.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat capaian ini hanya naik 0,6% dibandingkan akhir 2024. Tambahan kapasitas sebesar 876,5 megawatt (MW) selama enam bulan pertama tahun ini berasal dari lima jenis pembangkit, mulai dari panas bumi, air, surya, hingga biomassa.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan, capaian ini naik tipis 0,6% dibandingkan posisi akhir 2024. Peningkatan tersebut berasal dari tambahan 876,5 megawatt (MW) pembangkit EBT yang resmi beroperasi (commercial operation date/COD) sepanjang enam bulan pertama 2025.
“0,6% dari tahun 2024. Itu kira-kira,” kata Bahlil dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (11/8).
Baca Juga: Beda Data Produksi Minyak Versi ESDM dan SKK Migas
Secara rinci, PLTP Lumut Balai, PLTP Ijen, dan PLTP Salak menyumbang 105,2 MW. Lalu, PLTA Merangin di Jambi menambah 492 MW, diikuti PLTM Merangin Jambi dan PLTM Kanzy Bengkulu sebesar 8,2 MW. PLTS yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia menyumbang 233,3 MW, sedangkan PLTBm di sejumlah provinsi menambah 37,8 MW.
Namun, sejumlah ekonom menilai capaian ini masih jauh dari target. Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Ishak Razak mengatakan investasi EBT masih didominasi BUMN.
“Swasta belum banyak yang tertarik masuk karena risiko tinggi dan return of investment relatif kecil. Insentif fiskal masih dibutuhkan untuk menarik minat,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (14/8).
Ishak menambahkan, tingginya suku bunga kredit di Indonesia dibandingkan negara peer seperti China, Malaysia, dan Thailand menjadi hambatan. Minat swasta terhadap PLTS pun menyusut pasca penghapusan skema net metering.
Sementara itu, proyek EBT skala besar seperti PLTP kerap menghadapi resistensi masyarakat karena ancaman penggusuran, hilangnya sumber pendapatan, hingga masalah heritage.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai rendahnya realisasi EBT menjadi indikasi hambatan struktural. Regulasi yang kerap berubah, minimnya pendanaan, dan preferensi investor maupun bank terhadap PLTU ketimbang pembangkit hijau.
Menurutnya, target EBT 23% berpotensi meleset karena fokus pemerintah dan Danantara masih condong pada pengembangan PLTGas bumi dan kilang minyak.
“Jika sumber daya dialihkan ke fosil, bauran EBT akan selalu rendah,” kepada Kontan, Kamis (14/8).
Direktur Pelaksana Energy Shift Institute Putra Adhiguna menegaskan, pencapaian target tahun ini bergantung pada eksekusi rencana PLN dalam 12 bulan.
“Angka dan ambisi besar itu baik, tapi realisasi pengadaan adalah tolok ukur dasarnya,” ujarnya.
Berdasarkan data ESDM, realisasi investasi EBT pada semester I-2025 tercatat US$ 0,8 miliar, naik dibandingkan periode sama 2024 yang mencapai US\$ 0,565 miliar. Meski meningkat, laju investasi ini dinilai belum cukup untuk mengejar ketertinggalan target.
Baca Juga: Target EBT 23% 2025 Terancam Meleset, Realisasi Baru Capai 14,5%
Selanjutnya: Petinggi The Fed Menilai Pemangkasan Suku Bunga 50 bps Bulan Depan Tak Diperlukan
Menarik Dibaca: Ramalan Zodiak Besok Jumat 15 Agustus 2025: Keuangan & Karier Taurus Stabil
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News