Reporter: Sanny Cicilia, Handoyo | Editor: Havid Vebri
TARAKAN. Gara-gara anomali cuaca, yaitu intensitas curah hujan yang tinggi dan lama , produksi tembakau turun signifikan. "Gara-gara anomali cuaca, hasil produksi tembakau saat ini turun lebih dari 40%," kata Budidoyo, Wakil Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Kamis (26/9).
Cuaca yang tak menentu juga membuat kualitas panenan tembakau menurun. Alhasil, berdampak terhadap harga jual. Menurutnya, harga tembakau saat ini rata-rata Rp 35.000 per kilogram (kg).
Harga itu lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai Rp 40.000 per kg. Kondisi itu jelas merugikan petani. Apalagi biaya produksi tembakau juga membengkak. AMTI mencatat, produksi tembakau nasional rata-rata sebesar 200.000 ton per tahun.
Bila turun 40%, artinya produksi tahun ini hanya akan berada di kisaran 120.000 ton. Padahal, produksi 200.000 ton per tahun belum bisa mencukupi kebutuhan produksi rokok dalam negeri.
Belum lagi, produksi rokok terus menunjukkan tren meningkat. Budidoyo memprediksi, produksi rokok tahun ini bisa mencapai 350 miliar batang, lebih tinggi dari tahun lalu yang 330 miliar batang. Alhasil, produksi kesulitan mengimbangi kebutuhan tembakau pabrikan rokok.
Heri Susianto, Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) mengatakan, untuk kebutuhan produksi rokok kretek, pasokan tembakau lokal sudah mencukupi. Namun untuk industri rokok mild, masih bergantung pada impor. "Kondisi ini sudah menjadi resiko produsen rokok," kata Heri, kemarin.
Menurutnya, saat ini, banyak tembakau impor dari Brasil, Cina dan India yang beredar. Meski tak merinci, ia bilang, harga tembakau impor itu lebih murah dibanding lokal.
Menurut Heri, selain kesulitan tembakau, produsen rokok juga dihadapkan tingginya harga cengkeh yang mencapai Rp 150.000 per kg. Kondisi ini memukul produsen rokok skala kecil dengan kapasitas di bawah 300 juta batang per tahun.
Eko Hariyanto, Manajer Area PT Sadhana Arief Nusa, salah satu perusahaan pemasok tembakau pabrik rokok Sampoerna mengakui, kualitas tembakau panen tahun ini rata-rata jelek. "Harga beli tentu mengikuti kualitas tembakau," ujarnya.
Lahan menyusut
Dari data AMTI, luas areal pertanian tembakau saat ini 200.000 hektare. Harusnya luas lahan itu ditambah guna mengimbangi kebutuhan tembakau di pasar domestik.
Namun, petani kini justru kesulitan membuka areal baru untuk tembakau. Soalnya, pemerintah berniat mengurangi lahan tembakau dan mengkonversinya dengan tanaman pangan. "Jadilah produksi tembakau cenderung stagnan karena petani kesusahan juga membuka areal baru," kata Suseno, pengurus departemen advokasi AMTI.
Menurut Budidoyo, di beberapa daerah ekstrem kering seperti Madura, tanaman pangan lain tak memberi hasil memuaskan. Sebaliknya, tembakau tumbuh subur di daerah tersebut.
Lantaran tidak memberi nilai ekonomi sebanding untuk petani, AMTI menolak rencana konversi lahan ini. Konversi lahan tembakau dengan tanaman lain merupakan bagian dari rencana pemerintah meratifikasi Kesepakatan Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). "Keberatan sudah kami ajukan ke Presiden, kementrian terkait dan DPR," kata Budidoyo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News