Reporter: Emir Yanwardhana | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Pada tahun 2030 mendatang, sekitar 40% produksi listrik dunia akan dihasilkan dari pembangkit renewable energy alias energi baru terbarukan (EBTK).
Director General Internatiobal Renewable Energy Agency Adnan Amin mengatakan, ekspansi pembangkit renewable energy akan semakin besar, seiring dengan semakin murahnya harga teknologi. "Kita mengantisipasi dari rendahnya harga teknologi. Di 2030, renewable energy akan meningkat dua kali lipat di dunia," ungkapnya seperti yang dikutip Bloomberg, Senin (30/5).
Adnan mencontohkan, energi panas matahari meningkat sejalan dengan menurunnya biaya pembangkit dan harga jual listrik. United Arab Emirates sudah mengantongi 200 megawatt pembangkit listrik tenaga panas matahari per Januari 2015 dengan harga 5,85 sen perkilowatt hour (kWh). Bulan lalu, Emirat menerima tawaran untuk membangun pembangkit 800 megawatt dengan harga listrik 2,99 sen per kWh.
Namun, sayang, sejumlah kalangan di Indonesia menilai, harga pembangkit dan listrik dari energi baru terbarukan masih belum menyentuh harga keekonomian. Makanya, pembangkit konvensional masih menjadi andalan untuk menghasilkan kapasitas listrik yang besar dengan biaya produksi listrik yang lebih rendah.
Deputi Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia, Hendra Sinadia mengatakan, walaupun tren saat ini banyak pembangunan pembangkit energi baru terbarukan, namun dari sisi pelaku bisnis pengembangan pembangkit EBTK belum mencapai keekonomian.
"Pembangkit listrik batubara umumnya bisa berumur 25-30 tahun. Apabila dalam pengembanganya EBTK belum mencapai keekonomian, maka pengembangan kelistrikan masih akan membutuhkan batubara," kata Hendra, Senin (30/5). Meski, nantinya dalam jangka panjang peran komposisi energy mix akan menyebabkan peran batubara semakin berkurang seperti di Tiongkok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News