Reporter: Petrus Dabu | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Pengetatan ekspor biji mineral tambang yang berlaku Mei lalu, membuat produksi biji nikel Ibris Nickel Pte Ltd turun hingga 50%. Perlu diketahui, perusahaan tambang yang berbasis di Singapura ini memiliki izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Setelah Peraturan Menteri ESDM No 7 tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral terbit, produski Ibris sempat terhenti selama dua bulan. Namun, saat ini sudah kembali beroperasi.
"Pada dasarnya, kami sudah mulai produksi. Tetapi produksinya turun 50% dibandingkan sebelum adanya Peraturan Menteri ESDM No 7 tahun 2012," ujar Agus Suhartono, Chief Operating Officer Ibris Nickel saat dihubungi KONTAN di Jakarta, Selasa (31/7).
Sebelum aturan tentang peningkatan nilai tambah keluar, rata-rata produksi Ibris mencapai 300.000 ton per bulan. Setelah aturan terbut, produksi perusahaan menyusut menjadi 150.000 ton per bulan."Saat ini mengusahakan agar produksi kembali stabil," ujarnya.
Namun begitu, kondisi di lapangan sulit untuk meningkatkan produksi. Sebab, produksi Ibris di lapangan dilakukan oleh kontraktor lokal. Setelah pabrik berhenti selama dua bulan, para pekerja masih ragu untuk kembali bekerja. Selain itu, pihak kontraktor juga sulit mendapatkan pinjaman dari perbankan."Ada semacam keraguan dari bank memberikan pinjaman," jelasnya.
Selain karena regulasi pertambangan yang berubah-ubah, perbankan kata dia masih wait and see dan melihat perkembangan harga komoditas tambang yang belakangan ini cenderung turun drastis akibat krisis ekonomi global.
Saat ini, Ibris telah mengantongi izin ekspor ke China dan Australia. Total biji nikel yang sudah diekspor setelah Peraturan Menteri ESDM No 7 tahun 2012 tebit hanya mencapai 3 kapal dengan muatan masing-masing 50.000 ton. "Itu dari stocpile," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News