kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Program B30 Bikin Harga Minyak Goreng Meroket?


Senin, 07 Februari 2022 / 16:49 WIB
Program B30 Bikin Harga Minyak Goreng Meroket?
ILUSTRASI. Seorang pembeli memilih minyak goreng premium yang dijual di Pasar Kota Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (1/2/2022).


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyalahkan program biodiesel (B30) sebagai penyebab kenaikan harga minyak goreng.  Dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR pekan lalu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, lonjakan harga crude palm oil (CPO) saat ini tidak terlepas dari dampak kebijakan mendorong penggunaan biodiesel.

Diakui menjadi penyebab lonjakan harga CPO dan itu menguntungkan Indonesia. Dengan program B30, konsumsi CPO pun meningkat dan akan semakin bertambah jika B40 dilaksanakan.

"Yang buat CPO ini tinggi adalah Republik Indonesia. Sebagai penghasil CPO terbesar dunia, bikin B30, harganya meloncat. Dan ini sangat menguntungkan Indonesia," kata Lutfi. 

Baca Juga: Pemerintah Didesak Segera Atasi Masalah Minyak Goreng

Hal senada juga dikemukakan oleh pengamat ekonomi Faisal Basri yang  menilai kenaikan harga minyak goreng di tengah penurunan produksi dan ekspor CPO dikarenakan pergeseran besar dalam konsumsi CPO di dalam negeri. Di masa lalu, pengguna CPO yang dominan di dalam negeri adalah industri pangan, termasuk minyak goreng.

Namun sejak pemerintah menerapkan kebijakan mandatori biodiesel, alokasi CPO untuk campuran solar berangsur naik. Peningkatan tajam terjadi pada 2020 dan 2021 dengan diterapkannya Program B20 (20 persen kandungan CPO dalam biosolar).

“Pengusaha cenderung menyalurkan CPO-nya ke pabrik biodiesel karena pemerintah menjamin perusahaan biodiesel tidak bakal merugi karena ada kucuran subsidi jika harga patokan di dalam negeri lebih rendah dari harga internasional. Sedangkan jika dijual ke pabrik minyak goreng tidak ada insentif seperti itu,” jelas Faisal dilansir dari Faisalbasir.com.

Namun hal tersebut dibantah oleh Anggota Komisi VII Mukhtarudin. “Menteri Perdagangan tidak boleh menyalahkan program B30 ini yang sudah dimandatkan oleh Presiden Jokowi. Seharusnya Mendag tahu bahwa penggunaan CPO untuk program B30 ini hanya menggunakan sekitar 7,3 juta liter, dan untuk minyak goreng tersedia sekitar 32 juta liter. Ini tidak mengganggu produksi minyak goreng,” tukas Mukhtarudin.

Mukhtarudin juga menyorot Mendag yang “curhat” kepada salah satu media. Menurutnya, jika alasan kelangkaan minyak goreng ini penyebabnya adalah soal kebijakan B30, seharusnya Mendag itu tahu bahwa B30 itu programnya presiden.

Baca Juga: Jauh di atas HET, Harga Minyak Goreng di Pasar Tebet Capai Rp 22.000 per Liter

Sifatnya mandatori. Jadi Menteri, apalagi Dirjen tidak etis curhat ke media mengkritik program presiden sebagai penyebab kelangkaan minyak goreng. Apalagi dari 47 juta liter produksi CPO kita, hanya 7 juta liter yang dialokasikan untuk biodieasel B30.

“Menteri perdagangan harus fokus kepada tugas dan kewenangannya. Jangan malah buang badan mengkritik Kementerian lain. Kalau sudah buang badan begini jangan-jangan memang tanda-tanda inkompetensi,” katanya.

Senada, Eddy Martono, Sekretaris Jenderal GAPKI menampik bahwa penerapan program biodiesel mengganggu pasokan atau harga minyak goreng dalam negeri.

“Yang menyebabkan harga minyak goreng tinggi memang karena harga minyak nabati internasional sedang tinggi,” jelasnya. 

Eddy juga membantah bahwa pengusaha lebih suka menyuplai ke biodiesel ketimbang minyak goreng. “Program B30 itu bersifat mandatori dan volume ditentukan pemerintah,” ujarnya.

Peneliti Senior LPEM FEB-UI Mohamad Revindo menjelaskan bahwa permasalahan harga minyak goreng yang tak kunjung turun disebabkan karena ketidakmampuan Kementerian Perdagangan melakukan distribusi dengan baik.

Baca Juga: KPPU Mulai Panggil Produsen Minyak Goreng Pekan Depan

“Kementerian Perdagangan seharusnya menjalankan operasi distribusi secara menyeluruh di titik-titik yang teridentifikasi sangat kekurangan pasokan dengan pengawasan yang super ketat, tidak serta-merta menerima alasan para produsen dengan begitu saja,” kata Mohamad Revindo, peneliti senior LPEM FEB-UI.

Menurut Revindo, pemerintah juga tidak cukup hanya menunggu produsen dan distributor menjalankan kebijakan. Langkah keras ataupun tangan besi melalui pengawasan hingga penjatuhan sanksi harus dilakukan.

“Menko Perekonomian juga harus memberikan peringatan kepada Menteri Perdagangan atas kegagalan implementasi kebijakan dan berbagai perubahan tanpa kejelasan,” tutup Revindo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×