Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Program mandatori biodiesel B40 atau bauran solar dengan 40% bahan bakar nabati (BNN) berbasis minyak sawit memunculkan dilema. Prioritas penggunaan komoditas minyak kelapa sawit alias Crude Palm Oil (CPO) untuk pangan atau lebih ke kebutuhan energi.
Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka merencanakan program biodiesel B50 atau bauran Solar dengan 50% minyak sawit bisa tercapai pada 2029. Dan di tahun 2024, rencana biodiesel B40 akan dilakukan sebagai kelanjutan B35 di tahun sebelumnya.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi menargetkan program B40 ini akan diterapkan pada 2025. Saat ini program B40 masih di tahap uji coba ke mesin non otomotif setelah sebelumnya dilakukan uji coba ke mesin otomotif.
Nah, dilema ini muncul lantaran untuk kesiapan stok CPO program B40 perlu dipertimbangkan juga produksi CPO tahunan, kebutuhan untuk ekspor, dan kebutuhan untuk food dan feed di dalam negeri.
Baca Juga: Tahun Depan, Penerapan Mandatori Biodiesel B40 Ditargetkan Mulai Jalan
Eniya menerangkan bahwa Kementerian ESDM memproyeksikan stok minimal minyak kelapa sawit mentah untuk menopang program Biodiesel B40 sekitar 17,57 juta kilo liter nantinya yang berasal dari asumsi kebutuhan solar tahun 2024 sebesar 38,04 juta kilo liter.
Sementara dengan asumsi pertumbuhan rata-rata produk domestik bruto (PDB) sebesar 5%, maka penyaluran B40 diperlukan stok CPO domestik sekitar 17,57 juta kilo liter atau sekitar 15,29 juta ton CPO.
"Stok kita bisa sampai 18 juta kilo liter. Kalau B40 perkiraan mencapai 15 juta kilo liter. Dari resource aman. Sementara untuk solarnya nanti perlu diperbaiki kualitasnya. B0-nya perlu penyesuaian untuk ke Euro4 agar B40 pun bisa maksimal," ungkapnya kepada KONTAN, Kamis (27/6).
Pengusaha Pertimbangkan CPO untuk Pangan dan Ekspor
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, jika CPO mau diolah menjadi Biodisel bisa saja, tetapi yang harus dilihat dengan teliti bagaimana untuk ekspor apakah mencukupi atau tidak.
"Kalau permintaan naik, karena kalau suply kurang harga minyak nabati dunia termasuk sawit akan naik. Saat ini memang prioritas untuk pangan dan energi, sisanya baru di ekspor," kata Eddy kepada Kontan.co.id, Kamis (27/6).
Eddy menuturkan, program ini akan sulit tercapai mengingat produksi dan produktivitas sawit relatif stagnan dan cenderung turun. Produksi CPO sepanjang 2023 mencapai 50 juta ton. Jika dinaikkan menjadi 40% atau menjadi B40 maka kebutuhan dalam negeri untuk pangan dan energi adalah sekitar 24 juta ton.
Baca Juga: Ekspor CPO Turun, Pengamat Ungkap Bisa Berlangsung Hingga Akhir Tahun
“Produksinya kita sekitar 50-an juta ton CPO, stock rata-rata sekitar 4 sampai 5 juta ton. Tapi produksi selama 2020-2022 ini relatif stagnan, 2023 ini sedikit lebih tinggi dari 2022,” ungkapnya.
“Ekspor kita di tahun 2022 sebesar 32 juta ton, dengan mandatory B40 kemungkinan ekspor sudah mulai berkurang. Yang menjadi masalah apabila pasokan minyak sawit Indonesia ke pasar internasional berkurang maka ini akan menaikkan harga minyak nabati dunia termasuk minyak sawit, apabila suply dunia berkurang. Dan ini juga otomatis akan mempengaruhi harga minyak dalam negeri,” ungkapnya.