Reporter: Dimas Andi | Editor: Azis Husaini
Fahmy mengungkapkan, harga gas acuan sebesar US$ 6 per MMBtu yang ada di perpres tersebut sejatinya dibentuk melalui kondisi khusus. Dalam hal ini, ada berbagai pertimbangan sebelum harga tersebut ditetapkan. Misalnya, ketersediaan gas bumi bagi para pelaku industri dan kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Sebenarnya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk melarang kenaikan harga gas industri,” ungkapnya, Jumat lalu.
Baca Juga: Penetapan dua KEK di Batam molor, ini penyebabnya
Jugi berpendapat, substansi Perpres No 40/2016 lebih condong pada pengaturan harga gas hulu. Namun, dalam praktiknya lebih dititikberatkan ke harga gas untuk konsumen di level hilir. Selain itu, ketika harga gas hilir untuk industri dipatok di level US$ 6 per MMBtu, ada ancaman berupa ketidakpastian toll fee.
Dalam beberapa kasus, bisa saja badan usaha yang menjadi pengangkut gas bumi memberi subsidi kepada konsumen. “Padahal seharusnya subsidi diberikan oleh pemerintah,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menyampaikan, pengaturan struktur harga gas industri sebaiknya dibedah dan dijelaskan secara transparan dari segala aspek. Kemudian, dibandingkan pula dengan struktur harga gas di negara lain.
Jika secara rasional harus naik, sementara tidak ada jalan lain dalam mengembangkan usaha PGAS, maka perusahaan tersebut dipersilahkan menaikkan harga gas industri. “DPR akan menganalisis secara cermat proposal tersebut agar tercipta win-win solution,” tutur dia, Minggu (22/12).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News