kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,40   8,81   0.99%
  • EMAS1.332.000 0,60%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Proses pembentukan harga gas industri di sektor hilir masih jadi perdebatan


Minggu, 22 Desember 2019 / 18:34 WIB
Proses pembentukan harga gas industri di sektor hilir masih jadi perdebatan
Direktur Utama PGN Gigih Prakoso dalam seminar Hilir Migas Expo 2019


Reporter: Dimas Andi | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Di periode akhir September dan akhir November lalu, publik sempat dibuat heboh lantaran rencana kenaikan harga gas untuk sektor industri oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS). Meski akhirnya kenaikan tersebut dibatalkan oleh pemerintah, proses tata niaga gas bumi yang melibatkan berbagai pihak masih menimbulkan perdebatan.

Direktur PGAS Gigih Prakoso menyebut, sebagai perusahaan yang bergerak di sektor midstream dan hilir gas bumi, pihaknya memiliki ketentuan apa saja komponen yang membentuk harga gas bumi untuk industri. Komponen yang dimaksud meliputi biaya pembelian gas dari sektor hulu, beban transmisi pipa gas, beban distribusi pipa gas, dan marjin niaga gas.

Baca Juga: Askrindo dan Perusahaan Gas Negara (PGAS) selenggarakan Natal Bersama di Pontianak

Empat komponen ini mengacu pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 58 Tahun 2017 mengenai harga jual gas bumi. Dalam beleid tersebut, formula harga jual gas bumi hilir dihitung dari harga gas bumi ditambah biaya pengelolaan infrastruktur gas bumi serta ditambah biaya niaga.

Gigih menjelaskan, masing-masing komponen dalam struktur harga gas bumi hilir memiliki porsi yang berbeda. “Porsi biaya gas dari hulu 70%, kemudian transmisi 13% sedangkan biaya distribusi plus marjin niaga 17%,” ungkap dia, beberapa hari lalu.

Anggota Komite Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Jugi Prajugio bilang, komponen tarif pengangkutan gas bumi atau toll fee yang menjadi wewenang pihaknya terhadap struktur harga gas hilir tak lebih dari 10%.

Ia juga sepakat, mayoritas pembentuk harga gas bumi hilir berasal dari beban pembelian gas bumi di level hulu. “Jadi jika harga gas hulu naik, maka akan berpengaruh signifikan terhadap harga gas ke konsumen,” imbuhnya, Jumat (20/12).

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan, sah-sah saja apabila PGAS berniat menaikkan harga gas hilir di sektor industri. Sebab, PGAS juga berperan penting dalam membangun jaringan pipa gas di berbagai wilayah di Indonesia. Investasi tersebut tentu membutuhkan biaya yang besar dan seharusnya bisa dipenuhi lewat hasil penjualan gas ke pelanggan.

Baca Juga: Gas bumi menjadi salah satu kunci penggerak ekonomi

Lagi pula, karena komponen pembelian gas dari hulu punya kontribusi besar terhadap pembentukan harga gas hilir, maka kenaikan harga gas di sektor hulu bisa saja semakin membebani keuangan PGAS.

Lebih lanjut, rencana penyesuaian harga gas hilir oleh PGN sebenarnya tidak bertentangan dengan Perpres No 40 tahun 2016 yang mematok harga gas industri sebesar US$ 6 per MMBtu.

Fahmy mengungkapkan, harga gas acuan sebesar US$ 6 per MMBtu yang ada di perpres tersebut sejatinya dibentuk melalui kondisi khusus. Dalam hal ini, ada berbagai pertimbangan sebelum harga tersebut ditetapkan. Misalnya, ketersediaan gas bumi bagi para pelaku industri dan kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Sebenarnya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk melarang kenaikan harga gas industri,” ungkapnya, Jumat lalu.

Baca Juga: Penetapan dua KEK di Batam molor, ini penyebabnya

Jugi berpendapat, substansi Perpres No 40/2016 lebih condong pada pengaturan harga gas hulu. Namun, dalam praktiknya lebih dititikberatkan ke harga gas untuk konsumen di level hilir. Selain itu, ketika harga gas hilir untuk industri dipatok di level US$ 6 per MMBtu, ada ancaman berupa ketidakpastian toll fee.

Dalam beberapa kasus, bisa saja badan usaha yang menjadi pengangkut gas bumi memberi subsidi kepada konsumen. “Padahal seharusnya subsidi diberikan oleh pemerintah,” kata dia.

Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menyampaikan, pengaturan struktur harga gas industri sebaiknya dibedah dan dijelaskan secara transparan dari segala aspek. Kemudian, dibandingkan pula dengan struktur harga gas di negara lain.

Jika secara rasional harus naik, sementara tidak ada jalan lain dalam mengembangkan usaha PGAS, maka perusahaan tersebut dipersilahkan menaikkan harga gas industri. “DPR akan menganalisis secara cermat proposal tersebut agar tercipta win-win solution,” tutur dia, Minggu (22/12).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×