kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45928,35   -6,99   -0.75%
  • EMAS1.321.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Proses pembentukan holding panas bumi masih digodok


Selasa, 02 November 2021 / 20:22 WIB
Proses pembentukan holding panas bumi masih digodok
ILUSTRASI. PT Pertamina Geothermal Energi (PGE)


Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Proses pembentukan holding panas bumi (geothermal) hingga kini masih berlangsung.

Sebelumnya, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memastikan konsolidasi aset nantinya memungkinkan perusahaan yang terlibat memiliki saham pada holding panas bumi.

"Dalam pembentukan holding geothermal hanya membahas aset yang dikelola oleh PLN (Pusat) dan Indonesia Power saja," ujar Direktur Operasi PLN Gas & Geothermal Yudistian Yunis kepada Kontan, Selasa (2/11).

Yudistian pun memastikan, sejauh ini PLN GG belum memiliki aset Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang dikelola. 

Kontan mencatat, untuk tahun ini sendiri PLN GG ditargetkan dapat mulai mengoperasikan dan mengelola aset PLTP milik PLN. Selain itu, PLN tengah berupaya mendorong pengembangan panas bumi di tanah air.

Baca Juga: Ini kata pengamat soal IPO perusahaan panas bumi

Masih minimnya pemanfaatan energi panas bumi tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah mahalnya investasi akibat tingginya biaya eksplorasi. Sebagai gambaran, biaya sewa rig untuk membuat lubang saja bisa menghabiskan biaya US$ 100.000 (Rp1,4 miliar) per hari. Hal ini berujung pada harga listrik dari PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) yang lebih mahal dibandingkan pembangkit berbahan bakar batu bara.

Manajer Operasi dan Pemeliharaan PT Indonesia Power Kamojang POMU Wahyu Somantri mengungkapkan harga listrik dari PLTP Kamojang adalah US$ 6 sen per kwh. Sementara harga listrik dari pembangkit berbahan batu bara hanya US$ 3 sen per kwh. Oleh sebab itu, dibutuhkan keberpihakan regulasi untuk mendorong penggunaan energi terbarukan lebih masif. 

“Kalau memang EBT (energi baru terbarukan) mau berjaya, perlu dibuat regulasi yang lebih ramah,” ujar Wahyu.

Wahyu menambahkan, sekitar 80% biaya operasional PLTP Kamojang digunakan untuk membeli uap. Menurutnya, jika suplai uap dikelola sendiri, pengeluaran bisa ditekan dan harga listrik berpeluang menjadi lebih murah.

Selanjutnya: Begini peta jalan Indonesia menuju netral karbon di 2060

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×